Minggu, 18 September 2011

Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri

Berawal dari keinginan mengamalkan ilmu pengetahuan agama yang didapatkannya dari kota Makkah al-Mukarromah, KH. Ahmad Djazuli Usman merintis berdirinya sebuah pondok pesantren. Bersama dengan Muhammad Qomar, salah seorang santrinya, ia merintis berdirinya pesantren dengan cara yang sangat sederhana. Ia memulainya dengan sebuah pengajian, yang ia rintis sejak masih berada di desa Karangkates.

Pengajian tersebut, dia mulai pertengahan 1924 dengan menggunakan sistem sorogan. Ketika pengajian baru dimulai hanya ada 12 orang santri yang mengikutinya. Namun tak lama kemudian, jumlah santri yang ingin mengaji semakin bertambah. Sehingga setengah tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri.

Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri. Aparat kantor kenaiban sering terganggu dengan aktifitas para santri. Untuk itu, pada tahun 1939 beliau segera membangun asrama santri yang sekarang bernama komplek A, sebuah asrama berlantai dua yang dilengkapi dengan musholla. Seirama
dengan pergantian pemerintah penjajah dari Belanda ke Jepang, juga membawa suasana kelabu bagi pondok pesantren ini. Tentara Jepang sangat mencurigai kegiatan pondok pesaantren. Gerak gerik kiainya mereka awasi. Pengajian berlangsung dalam suasana tidak bebas. Kalaupun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Kondisi demikian diperburuk dengan masuknya agresi Belanda kesatu pada tanggal 18 September 1948. Para santri yang memiliki semangat jihad, terlibat pertempuran untuk mengusir Belanda. Mereka bahu mebahu dengan TNI. Operasional pondok pesantren tersebut kembali normal, setelah agresi Belanda berlalu. Setelah dua tahun vakum, kehadiran pondok pesantren bagai gayung bersambut. Kehadiran Pondok Pesantren Al-Falah mengisi kekosongan pendidikan yang hancur lebur karena pertempuran. Simpati warga Kediri mereka tunjukkan dengan mengirm anak-anaknya “nyantri” di pesantren KH. A. Djazuli.

Masyarakat Sekitar
Masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah Ploso pada awalnya tergolong masyarakat abangan (jauh dari agama). Ketika awal berdiri, banyak masyarakatnya mencemooh pondok pesantren Al-Falah. Apalagi para pejabat dan bandar judi, yang setatus quonya mulai terganggu. Mereka sering menyebarkan isu-isu sesat terhadap pondok pesantren ini. Fenomena semacam itu memang menjadi tantangan berat bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan simakan Al-Qur’an Mantab ini. Namun para pengurusnya tidak merasa gentar. Justru tantangan itu membulatkan tekad mereka untuk mengubah masyarakat abangan, menjadi masyarakat yang islami. Hasilnya seperti sekarang ini. Pesantren terus berkembang, dan kehidupan islami tercipta dengan sendiri di sekitar pondok pesantren. Pondok pesantren yang letaknya ditepi sungai Barantas ini banyak mengambil keuntungan dari letak geografis tersebut. Sungai yang terkenal deras airnya dan terus mengalir sepanjang musim banyak memberikan kehidupan para santri serta para masyarakat sekitarnya. Dipinggir sungai inilah terletak desa Ploso, 15 km arah selatan dari Kediri. Potensi wilayah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Umumnya mereka memanfaatkan tanah yang subur ditepi sungai berantas untuk bercocok tanam.

Organisasi Kelembaganan
Ponpes Alfalah Ploso menganut sistem manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada figur seorang kiai memegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Manajemen semacam itu terus berlangsung sampai pada saat sekarang saat pesantren ini diasuh oleh KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli. KH. Zainuddin dalam mengasuh pesantren yang sering digunakan kegiatan tingkat regional ini dibantu para adik-adiknya dan saudara-saudaranya, seperti KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri, KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’), KH. Munif, Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan Gus Sabut putra almarhum Gus Mik (yang mengomandani Jama’ah Sima’an Al-Qur’an Mantab) dll. Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah.

Program Pendidikan.
Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun).

Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun.

Selain program diatas masih ada kegiatan ekstra yang harus diikuti oleh semua santri, meliputi latihan berorganisasi, baca tahlil, muhafadhah, dibaiyah, kaligrafi dll. Juga ada kegiatan bahtsul masail. Program yang terakhir ini adalah sebagai wahana untuk melatih dan mencetak kader-kader syuriyah dan tem bahtsul bahsul masail. Dari majelis musyawarah ini telah terlahir kader-kader syuriyah NU di bidang bahtsul masail yang handal, diantaranya KH. Ardani Ahmad, KH. Arsyad, KH. Fanani. Mereka direkrut sebagai anggota lajnah bahtsul masail PWNU Jawa Timur. Dan masih banyak alumni yang lain yang berkcimpung di dunia organisasi NU dalam bidang yang lain.Untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar di pesantren yang mengasuh santri hampir 2000 ini hanya mengandalkan darim iuran santri atau SPP yang besarnya uang pangkal Rp. 10.000,- SPP Rp. 5.000,- dan iuran lainnya Rp. 10.000,-

Kaderisasi
Kalau sering didengar banyak pondok pesantren mati dan tidak santrinya akibat tidak adanya penerus, maka untuk pesantren yang bangunannya terkesan mewah ini insya’allah tidak akan terjadi, sebab sebagai pengasuh KH. Zainuddin Djazuli sudah menyiapkan putra-putranya dengan mengirimkan keberbagai pondok pesantren. Seperti Gus Zidni, alumni pesantren Lirboyo dll.
//www.pondokpesantren.net
Baca Selengkapnya >>

Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.Basis pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.

Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Baca Selengkapnya >>

Muhammadiyah

muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.


Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
Baca Selengkapnya >>

Senin, 05 September 2011

Tuhfah r.a - Budak Wanita yang Sufi

Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia. Budak Yang Sufi
SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.

Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.

Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.

Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.

Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

Saqati Berdo’a
Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.

Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.

Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

Haji Bersama
Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.

Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.

Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.

Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.
Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada dirikuPagebreak
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat

Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang merupakan agama dan duniaku

Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya
/www.sufinews.com
Baca Selengkapnya >>

Jalan Istiqomah

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Diriwayatkan oleh Ummu Habibah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Tak seorang pun hamba yang muslim, sholat Lillahi Ta’ala setiap hari dua belas rekaat, sholat sunnah, bukan sholat fardlu, kecuali Allah

membangunkan rumah di dalam syurga.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’y).

Hadits ini memotifasi untuk menegakkan ibadah-ibadah sunnah, karena ibadah sunnah salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, sekalgus menjadi bekal kaum ‘arifun dalam menempuh jalan mneuju kepada Allah swt. Sekaligus menjadi perilaku kaum yang mengkhususkan (menyendiri) jiwanya di sisi Allah swt.
Anak-anak sekalian! Ketahuilah siapa yang hakikat batinnya menyendiri bersama Allah secara total, dan rahasia sirrnya benar-benar manunggal, akan terbuka seluruh tirai, segala bukti menjadi nyata, ketika musyahadah pada Cahaya Al-Haq Allah swt.
Di sanalah ia Allah menuangkan minuman dengan gelas CintaNya, hingga ia mabuk dari lainNya, segalanya menjadi riang nan ringan. Segala diamnya adalah dzikir, nafasnya adalah tasbih, kalamnya adalah penyucian, dan tidurnya adalah sholat (do’a). Sang hamba senantiasa menaiki kendaraan ma’rifat, hingga bertemu Yang Dima’rifati. Bila sudah bertemu, ia abadi selamanya bersamaNya, tidak berpaling ke lainNya.
Qalbu itu ibarat istana, dan ma’rifat adalah rajanya, akal adalah menterinya yang punya department dan instrument. Lisan sebagai penerjemah, sedangkan rahasia batinnya dari khazanah Ar-Rahman. Masing-masing konsisten dengan posisinya, sedangkan arah seluruhnya adalah istiqomahnya sirr bersama Allah swt.

Bila Sirr istiqomah, maka ma’rifat menjadi istiqomah, lalu akal menjadi lurus. Bila akal konsisten, qalbu akan konsisten. Bila qalbu konsisten, jiwa akan konsisten. Bila nafsu konsisten (dalam pengendalian), perilaku batin akan konsisten.
Sirr dicahayai oleh Sifat Jamal dan JalalNya. Akal dicahayai oleh cahaya kesadaran dan renungan pelajaran. Qalbu dicahayai oleh cahaya rasa takut dan cinta disertai kontemplasi fikiran.

Nafsu dicahayai dengan cahaya olah jiwa dan pengekangan.
Sirr adalah lautan dari samudera anugerah pemberianNya, dan gelombangnya tak terhingga, tiada henti pula. Jika Sirr konsisten bersama Allah swt, maka senantiasa akan abadi dalam musyahadah, dan sirna dari penglihatan pada Istiqomahnya.
Perlu diketahui bahwa Jalan Istiqomah (konsistensi) itu laksana tenda agung dari jalan akhirat, dan berjalan di tepinya lebih sulit disbanding jalan di tepian akhirat. Alam rahasia bias menjadi tipudaya, karena Allah swt tidak suka pada hati hamba yang masih ada cinta pada yang lain selain Dia.
Mereka tidak ingin sesuatu dari Allah kecuali Allah. Dalam sebagaian kitabNya Allah Ta’ala berfirman : “Bila yang kesibukan jiwa hambaKu lebih kepadaKu disbanding yang lain, maka Kujadikan nikmat dan hasrat ada dalam mencintaiKu, dan Aku singkapkan hijab antara diriKu dengan dirinya.” Ada seseorang sedang masuk dalam tempat Syeikh Sary as-Saqathy, lantas lelaki itu bertanya, “Manakah yang bias mendekatkan pada Allah Ta’ala, hingga sang hamba bias mendekat kepadaNya?”
Maka As-Sary menangis, lalu berkata, “Orang seperti anda ini masih bertanya seperti itu? Yang paling utama cara mendekatkan hamba kepada Allah Subhanahu wa-Ta’ala, hendaknya Allah swt, muncul di hatimu, dan anda tidak mau sama sekali pada dunia dan akhirat, kecuali hanya padaNya.”

Ibrahim bin Adham ra mengatakan, “Puncak dari hasrat dan citaku dalam hubunganku dengan Allah Ta’ala adalah, hendaknya Dia menjadikan diriku condong terus kepadaNya, hingga aku tak memandang apa pun selain Dia, dan aku tidak sibuk dengan siapa pun selain sibuk denganNya, aku tak peduli Dia jadikan diriku jadi debu, atau hilang sama sekali.”

Nabi Ibrahim as, pernah ditanya, “Dengan cara apa anda dapatkan keakraban dengan Allah Ta’ala?” “Dengan memutuskan diriku hanya kepada Tuhanku, dan pilihanku kepadaNya dibanding lainNya, serta aku tidak pernah makan kecuali bersama tamuku.”
Rabi’ah al-Bashriyah ra mengatakan :
“Oh Tuhanku, hasratku di dunia dan di akhirat nanti hanya mengingatmu, dan hasratku di akhirat dari akhirat hanya memandangMu, maka lakukanlah antara keduanya sekehendakMu.”
Abu Yazid al-Bisthamy ra menegaskan, “Rahasia batinku naik menuju Allah swt, lalu terbang dengan sayap ma’rifat dengan cahaya kecerdasan di cakrawala Wahdaniyah (KemahatunggalanNya). Tiba-tiba nafsu menghadapku dan berkata, “Kemana kau pergi? Akulah nafsumu dan engkau harus bersamaku.” Namun rahasia batinku (sirr) sama sekali tidak menoleh padanya.

Kemudian makhluk-makhluk lain menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana kau pergi? Kami adalah teman dan tempat curhatmu, engkau harus bersama kami, demi solidaritas padamu!” Sirrku sama sekali tidak menoleh.
Lantas syurga dengan segenap isinya menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana engkau pergi? Engkau itu bagiku dan engkau harus di sini denganku.” Maka sirrku sama sekali tidak berpaling.

Lalu anugerah dan pemberian menghadapku, begitu juga karomah-karomah, hingga melewati kerajaanNya, sampai pada kemah Fardaniyah (KetunggalanNya), lantas melampaui universalitas dan keakuan, hingga sirrku sampai di hadapan Allah swt. Dialah yang kucari!”
Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa! Sesungguhnya orang yang menjumpaiKu pasti tidak akan kembali dariKu, dan tidak akan kembali kecuali dari Jalan (lurusKu).” Abul Abbas nin Atha’ ra, mengatakan, “Manakala akhirat muncul dalam diri hamba, dunia menjadi sirna di sisinya, sehingga sang hamba hanya menetap di negeri keabadian. Namun manakala sang hamba berada dalam penyaksian Allah Ta’ala, segala hal selain Allah Ta’ala sirna, dan hamba abadi bersama Allah swt.” Ada lelaki di hadapan Abu Yazid ra, berkata, “Ada informasi sampai kepadaku bahwa engkau punya Ismul A’dzom, sangat senang jika engkau mengajariku.”
Abu Yazid menjawab, “Nama Allah itu tidak terbatas. Namun kosongkan hatimu hanya bagi KemahaesaanNya, meninggalkan berpaling pada selain Allah Ta’ala. Jika anda bisa demikian, raihlah Ism (Nama) mana pun yang kau kehendaki, maka dengan Isim itu anda bisa pergi dari timur hingga barat, dalam sekejap dan anda telah kembali.”

Dzun Nun al-Mishry ra, mengatakan, “Ketika aku naik haji, tiba-tiba ada anak muda mengatakan : “Oh Tuhanku, aku telah mengumpulkan tebusanMu, dan engkau Maha Tahu, lalu apa yang Engkau berlakukan pada mereka?”
Lalu kudengar suara : “TebusanKu banyak, dan yang mencariKu sedikit.” Sebagian Sufi ditanya, “Seberapakah antara Allah swt dan hambaNya?” “Empat langkah saja: Satu langkah meninggalkan dunia; satu langkah meninggalkan makhluk; satu langkah meninggalkan nafsu; dan satu langhkah meninggalkan akhirat, maka sang hamba sudah dihadapan Allah swt.” Jawabnya.
Sarry ra berkata, “Siapa yang bangkit untuk taat kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang lain, Allah akan memberi minuman dari mata air cinta dariNya, dan dihantar menuju tempat yang benar.”

Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah mengatakan, “Orang arif manakala keluar dari dunia tak ada pemandu maupun penyakdi di hari kiamat, tidak ada Malaikat Ridlwan di syurga, juga tidak ada Malaikat Malik di neraka.”
Beliau ditanya, “Lalu dimana sang arif di jumpai?”
“Di hadapan Allah Yang Maha Diraja, di tempat yang benar. Ketika mereka bangkit dari kuburnya mereka tidak bertanya-tanya, “Mana keluarga dan anakku? Mana Jibril dan Mikail? Mana syurga dan pahala?” Namun justru berkata, “Manakah Kekasihku dan kemesraan hatiku?”
Qalbu kaum airfin punya mata Yang memandang apa yang tak biasa dipandang manusia Sedangkan lisannya berkata dengan rahasia batinnya
munajat dari malaikat-malaikat mulia di sisiNya yang mencatat :
Sayap-sayap yang terbang tanpa bulu
Hinggap di sisi Rabbul ‘alamin.
Lalu bagai gembalaan di taman suci menari
Dan meminum dari lautan para RasulNya
Para hamba yang menuju kepadaNya
Hingga mendekat, sampai bertemu denganNya.
//www.sufinews.com/
Baca Selengkapnya >>

Suci Badan Suci Qalbu

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.” (H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.

Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.

Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.

Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.

Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”

Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)

Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”

Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.

Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw, “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”

Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”

Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”

Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya, maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.

Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”

Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub, yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin, “Doakan kepada Allah untukku.”

Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”

Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”
Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.

“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”

Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.

Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”

Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt, atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”

Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.
www.sufinews.com/
Baca Selengkapnya >>