Kamis, 31 Maret 2011

MAKNA TEMBANG MACAPAT

TRIWIKRAMA

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga. Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.

KIDUNG PANGURIPAN

“SAKA GURU”

Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :

1. MIJIL

Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.

2. MASKUMAMBANG

Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.

3. KINANTI

Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

4. SINOM

Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.

5. DHANDANGGULA

Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.

6. ASMARADANA

Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.

7. GAMBUH

Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.

8. DURMA

Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.

9. PANGKUR

Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!

10. MEGATRUH

Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!

11. POCUNG

Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.

Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.

Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.

12. WIRANGRONG

Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana, rahmatan lil alamin.

Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan raganya.

Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.

Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.



sabdalangit.wordpress.com
*******
Baca Selengkapnya >>

Sejarah Singkat Imam Syafi’i

Sejarah Singkat Imam Syafi’i

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Baca Selengkapnya >>

Rabu, 30 Maret 2011

Ibnu Atho’illah al-Sakandari

Kelahiran dan keluarganya

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para
Auliya’Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Ibn Atho’illah wafat

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Sumber : www.al-hasani.com
Baca Selengkapnya >>

Puisi Rabiatul Adawiyah

Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri ketika Kekasih bersamaku cintaNya padaku tak pernah berbahagi dan dengan benda yang sana selalu mengujiku bilakah dapat kurenungi keindahanNya? .

Dia akan menjadi mihrabku dan arahnya menjadi kiblatku bila kumati kerana cinta, sebelum terpuaskan akan terseksa dan lukalah aku di dunia ini oh penawar jiwaku, hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mahuNya barulah jiwaku pulih jika telah bersatu denganMu oh sukacita dan nyawaku moga kekal lah dan diriMu juga berahiku berasal dari semua benda fana di dunia ini diriku telah tercerai hasratku adalah bersatu denganMu melabuhkan rindu . Rabiatul Adawiyah
Dunia pesantren
Baca Selengkapnya >>

Bait andalus

Segala yang beranjak sempurna kan berkurang pada akhirnya
Maka jangan manusia terperdaya oleh indahnya perhiasan dunia
Kau saksikan segalanya bagai roda yang berputar
Bahagia suatu kala dan sengsara selepas itu semua .
Sungguh dunia tak ‘kan sisakan suatu apa pun
Tiada kekal di dalamnya satu urusan pun .
Mana raja-raja bermahkota dari Yaman?
Mana yang dahulu bermahkota menyilaukan?
Mana pula istana yang dibangun kaum Iram?
Mana benteng Persia yang dibangun siang dan malam? .
Ketentuan yang tak tertolak telah menimpa semua itu
Hingga segalanya bagai tak pernah ada
Oh Andalus.. Derita itu kini menimpamu
Gunung Uhud pun roboh dan gunung Sahlan hancur mendengar kisahmu
Islam kini menangis hingga tak sadarkan diri
Bagai tangis kekasih yang ditinggal mati
Seketika Islam diusir dari rumah-rumah itu
Diganti kekufuran yang penuhi setiap ruang
Ketika masjid dahulu kini jadi gereja
Tiada lain di dalamnya kecuali salib dan lonceng-lonceng
Mihrab-mihrab itu menangis tersedu padahal ia adalah batu
Mimbar-mimbar itu bersenandung puisi duka padahal ia adalah kayu
Sungguh pahit semua ini meluluhkan segala hati
Seandainya Islam dan Iman masih bersemayam dalam nurani


Dunia pesantren
Baca Selengkapnya >>

SUARA HATI UNTUK PARA PENUNTUT ILMU

Oleh :

Al-Ustadz Abu Muslim Majdi bin Abdul Wahhab al-Ahmad

(Murid Fadhilatus Syaikh Ali Hasan al-Halabi)(*)

Inilah nasehat dari hati ke hati, dari hati yang penuh dengan kesedihan dikarenakan fenomena permusuhan, perdebatam, celaan dan saling menghajr di antara para penuntut ilmu

Dari hati yang penuh dengan kepedihan dikarenakan perpecahan, perselisihan dan pertikaian

Dari hati yang sakit dikarenakan banyaknya orang yang ragu dan bimbang di dalam mencari kebenaran beserta para penegaknya

Kepada hati yang memahami kata-kata ini

Kepada hati yang senantiasa berbaik sangka

Kepada hati yang merasa sakit terhadap fenomena yang menimpa para penuntut ilmu

Ini semuanya… Bertujuan agar kita mempersatukan barisan dan kalimat sesuai dengan bimbingan kitab Rabb kita Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta manhaj para salaf kita yang shalih Ridlwanhullahu ‘alaihi ajma’in…

Tentang Niat

Ali bin Fudhail berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, betapa manisnya perkataan para Sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”

Ayahnya berkata, “Wahai anakku, apakah kamu mengetahui apakah yang menyebabkan perkataan mereka menjadi manis?”

Ali menjawab, “Tidak wahai ayahku.”

Ayahnya berkata, “Karena dengan perkataan tersebut mereka menginginkan Alloh.”1

Abdullah bin Muhammad bin Munazzil bercerita, bahwa Hamdun bin Ahmad pernah ditanya : “Kenapa perkataan salaf lebih bermanfaat daripada perkataan kita?”

Hamdun menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, kesematan jiwa-jiwa dan keridhaan ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan ketenaran di hadapan manusia.”

Tentang Nasehat Menasehati

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Agama itu nasehat”, kami bertanya, “untuk siapa?”, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Untuk Alloh, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.” (HR Bukhari, no. 55).

Di antara hal yang paling berharga yang saya peroleh dari guru saya yang mulia, Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari –semoga Alloh menjaga dan meluruskan langkah beliau-, beliau berkata kepadaku : “Wahai saudaraku, jika kamu melihat kesalahan padaku, maka wajib bagimu untuk menegur kesalahanku tersebut. Jika hal itu salah, maka saya pasti akan bertaubat. Jika saya nilai teguranmu salah, niscaya saya akan menjelaskan yang benar…2

Kemudian wahai saudaraku, janganlah kamu sembunyikan apa yang kamu lihat di dalam hatimu, padahal hal itu kamu nilai sebagai suatu kesalahan. Saya adalah seorang manusia yang bisa salah dan akan salah serta bersalah. Jika kamu tinggalkan teguran, niscaya akan bertumpuk kesalahan-kesalahanku sampai menjadi suatu kebencian antara diriku dan dirimu, dan ini adalah perkara yang saya tidak menyukainya dan tidak menginginkannya.”

Tentang Menetapi Kejujuran

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa kepada surga, dan seorang yang senantiasa jujur dan menetapi kejujuran, niscaya akan dicatat di sisi Alloh sebagai seorang yang amat jujur. Dan berhati-hatilah kalian dari berdusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan membawa kepada neraka, dan seorang yang senantiasa berdusta dan berpegang teguh dengan kedustaan niscaya akan dicatat di sisi Alloh sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim, no. 2607, 105 dan ini lafazhnya dan juga oleh al-Bukhari no. 6094).

Alloh berfirman : “Sesungguhnya Alloh tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS Al-Mukmin : 28)

Alloh berfirman : “Dan sesungguhnnya telah merugi orang-orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS Thoha : 61).

Alloh berfirman : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isra’ : 36).

Tentang Hasad dan Pelakunya

Sangat disayangkan, ada di antara para penuntut ilmu syar’i yang memiliki sifat hasad. Dan sangat disayangkan lagi, orang tersebut ketika dia berusaha menghilangkan nikmat dari orang yang dia hasadi, dia menjadikan sifat hasadnya itu berkedok agama seolah-olah untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dengan tujuan agar nampak di hadapan masyarakat, bahwa tujuannya adalah demi menjaga dan melindungi Islam dan kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Berhati-hatilah kalian dari berprasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kalian saling berbuat najasy3. Janganlah kalian saling berlaku hasad dan saling membenci serta mengunggulkan diri. Akan tetapi jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara.” (HR al-Bukhari).

Tentang Fitnah

Betapa banyak orang yang tenggelam di dalam fitnah, bahkan betapa banyak para pemicu fitnah!!! Alloh Ta’ala berfirman : “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS al-Anfaal : 25)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Ya Alloh, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari kembali kepada kekufuran (murtad) atau terfitnah dalam urusan agama kami.” (HR al-Bukhari no. 6593 dan Muslim, no. 2293).

Tentang Perpecahan dan Perselisihan

Alloh Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”.” (QS Ali Imran : 102-106)

Dan Alloh berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (QS al-An’am : 159)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Perselisihan itu tercela dari dua sisi, terkadang sebabnya adalah niat yang jelek dikarenakan di dalam jiwanya ada kezhaliman, hasad dan keinginan menjadi terkemuka di muka bumi dengan cara yang buruk atau yang semisal dengannya, maka hal ini akan menjadikannya senantiasa mencela perkataan dan perbuatan orang lain, atau berusaha mengalahkannya dengan tujuan tampil beda, atau senang terhadap perkataan yang sesuai dengannya, baik karena senasab, semadzhab atau nepotisme dan yang semisalnya. Dikarenakan hal itu akan menjadikannya dihormati dan mendapatkan kepemimpinan. Dan betapa banyaknya hal ini terjadi di antara bani Adam. Ini merupakan suatu kezhaliman yang terkadang juga sebabnya adalah kebodohan kedua belah fihak yang berselisih tentang hakekat permasalahan yang mereka perselisihkan. Atau kebodohan tentang dalil yang bisa memuaskan fihak yang lain atau kebodohan salah satu fihak akan kebenaran yang ada di fihak lain, baik dari segi hukum ataupun dalilnya, atau tidak tahu siapa orangnya yang bisa menunjukkan kebenaran baik dari segi hokum maupun dalilnya.”

Berusaha Keras Untuk Memasukkan Manusia ke Dalam Manhaj Yang Benar, Bukan Malah Mengeluarkan Mereka Darinya

Wajib bagi para penuntut ilmu untuk berusaha keras memasukkan dan membimbing manusia agar masuk ke dalam manhaj yang benar, bukannya malah menjadikan mereka menjauh atau bahkan mengusir mereka dengan alasan demi menjaga manhaj dari orang-orang yang memiliki syubhat-syubhat.

Subhanalloh!!! Seakan-akan mereka telah bersih dari berbagai syubuhat dan mencapai derajat para Malaikat dan Nabi.

Wahai pemilik propaganda ini, wajib bagi kalian mengoreksi diri kalian terlebih dahulu4, dan jika kalian bisa memperbaiki kesalahan dan syubhat yang menimpa saudara-saudara kalian, maka lakukanlah tanpa menjadikan mereka keluar atau terusir –seperti yang dilakukan kaum hizbiyun-5. Jika kalian tidak bisa melakukan itu, maka tinggalkanlah mereka untuk dinasehati oleh orang-orang yang berpengaruh terhadap mereka dan mampu mengobati mereka dengan cara yang lebih baik dan lurus.

Menggelari Manusia Dengan Gelar-Gelar Khusus Bagi Ahli Bid’ah

Sangat disayangkan, sebagian pemuda kita memilih metode menggelari manusia dengan gelar-gelar yang tidak pantas, sehingga mereka akan lari menjauh.

Tindakan ini sangat mirip dengan orang-orang yang berpemikiran takfir6, Anda akan mendapati di antara mereka ada seseorang yang tidak duduk di dalam suatu majlis melainkan membicarakan masalah takfir, si A kafir, pro ini kafir, umat ini kafir dan seterusnya… sampai-sampai ia menilai semua orang kafir kecuali dirinya dan orang-orang yang mendukungnya.7

Begitulah para pemuda –semoga Alloh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada mereka-, mereka tidaklah duduk di suatu majlis melainkan mengatakan Qutbi, Sururi8 dan ini termasuk ahlul bid’ah dan ini ahlul ahwa’, yang ini sesat menyesatkan dan yang ini dianggap seperti mencela, dan ini… sampai dia berpendapat tiada seorangpun yang berada di atas manhaj yang benar kecuali dirinya dan yang mendukungnya, sedangkan yang lainnya menyimpang dan sesat…9.

Alloh Ta’ala berfirman : “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS an-Nuur : 15).

CATATAN KAKI :

(*) Dialihbahasakan oleh Abu Khadijah Imam Wahyudi, Lc. dari Majalah al-Asholah, th. VIII, edisi ke-42 dan dimuat di Majalah Ilmiah Adz-Dzahiirah Al-Islamiyyah, edisi 20, th. IV, Jumadil Awal 1427/Juni-Juli 2006.

1. Dengan perantaraan tulisan saudaraku Muhammad bin Isa hafizhahullahu yang berjudul Saba’ik adz-Dzahab fi Bayani Ushuli ath-Tholab.

2. Hendaklah sang pemberi nasehat memperhatikan perkataan ini, karena betapa banyak pemberi nasehat yang menyangka telah melakukan hal yang benar dalam nasehatnya. Sehingga apabila yang dinasehati belum menerima nasehatnya, segera dia marah dan mengambil berbagai sikap dan reaksi. Akan tetapi seyogyanya bagi orang yang dinasehati, menjelaskan kepada sang pemberi nasehat sisi kebenaran yang ia yakini, dan tidak boleh meninggalkan sang pemberi nasehat dengan tetap menyalahkannya. Karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak, benci dan permusuhan. Wajib bagi manusia untuk memahami tabiat dan kepribadian masing-masing, karena mereka bukanlah malaikat, bukan nabi, maka daripada itu hendaklah mereka tidak menuntut agar tidak mendapati kesalahan dan kekhilafan saudara-saudara mereka, yang mana pada kenyataannya mereka akan mendapat begitu banyak kesalahan dan kekhilafan.

3. Menaikkan harga karena bukan ingin membeli, namun untuk menipu orang lain.

4. Hisablah dulu diri kalian sebelum kalian dihisab.

5. meskipun sebagian mereka mengaku sebagai salafiyun.

6. meskipun ada perbedaan tingkatan peberian gelar-gelar buruk, karena gelar-gelar yang digunakan para pemuda tersebut tidak sampai kepada pengkafiran. Adapun yang lainnya sampai kepada kafir.

7. Sungguh saya telah bertemu dengan salah seorang diantara mereka dan terjadi diskusi di antara kami. Di dalam diskusi tersebut ia berkata, “kaum muslimin di Mauritania jumlahnya 5 % saja sedankan yang lainnya kafir.” Kami berlindung –kepada Alloh- dari pemikiran ini.

8. Meskipun saya berkeyakinan bahwa pemikiran Sayyid Quthb dan Muhammad Surur adalah pemikiran yang batil dan wajib ditahdzir, akan tetapi jika gelar-gelar tersebut dituduhkan kepada ahli haq dikarenakan beberapa kesalahan yang mereka terjatuh ke dalamnya, maka demi Alloh, inilah seburuk-buruk kejelekan, dan kami berlindung dari perbuatan tersebut.

9. Mereka biasa menuduh seseorang dengan tuduhan sururi atau quthbi dengan didasari oleh tuduhan belaka, artinya bukti yang mereka kemukakan pada hakekatnya adalah dalih bukanlah dalil
Baca Selengkapnya >>

Di Balik Tabir Nazi: Evolusi HARUN YAHYA

Nazisme lahir di tengah konflik politik yang dialami Jerman setelah Perang Dunia Pertama. Pemimpin Partai Nazi adalah Adolf Hitler, sosok yang sangat ambisius dan agresif. Hitler memiliki pandangan sangat rasis. Ia sangat meyakini keunggulan bangsa Jerman atau "Arya" di atas ras-ras lain. Ia memimpikan ras "Arya" Jerman akan segera mendirikan imperium yang bertahan selama seribu tahun.
Teori evolusi Darwin muncul untuk memberikan landasan ilmiah bagi teori rasis Hitler. Hitler juga mendapatkan dukungan ideologis dari karya Heinrich von Treitschke, sejarahwan rasis Jerman. Treitschke sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin dan mendasarkan pandangan rasisnya pada Darwinisme. Ia berkata: "Bangsa-bangsa hanya dapat berevolusi melalui perjuangan sengit, seperti pandangan Darwin tentang 'Perjuangan Untuk Mempertahankan Hidup'". Hitler juga memperoleh inspirasi dari teori Darwin tentang "Perjuangan untuk Bertahan Hidup". Judul buku terkenalnya "Mein Kampf", yang berarti "Perjuangan Saya", hanyalah pencerminan konsep Darwin ini.
Hitler, sebagaimana Darwin, menganggap ras-ras selain Eropa sedikit lebih dari kera dan menambahkan: "Hapuskan bangsa Jerman Nordik dan tak ada yang tersisa kecuali tarian kera". Dasar berpijak pandangan evolusionis kaum Nazi ada pada konsep "Eugenics". Eugenics berarti "perbaikan" ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat, serta memperbanyak jumlah individu sehat. Menurut teori Eugenics, ras manusia dapat diperbaiki dengan cara yang sama sebagaimana hewan berkualitas baik dapat dihasilkan melalui perkawinan hewan-hewan yang sehat.
Sebagaimana dapat diduga, pendukung eugenics adalah para Darwinis. Pemimpin gerakan eugenics di Inggris adalah sepupu Charles Darwin, yakni Francis Galton, dan anaknya, Leonard Darwin.
Jelas bahwa teori eugenics adalah akibat alamiah dari Darwinisme. Fakta ini juga tampak sangat jelas di berbagai publikasi yang menyebarluaskan sains aneh ini, diantara kutipan berbunyi: "Eugenics adalah pengaturan mandiri evolusi manusia".
Yang pertama mendukung dan menganjurkan eugenics di Jerman adalah Ernst Haeckel, ilmuwan biologi evolusionis terkenal. Ia mencetuskan teori "rekapitulasi", yang menyatakan bahwa embryo spesies berbeda, menyerupai satu sama lain. Di kemudian hari diketahui bahwa Haeckel telah memalsukan gambar-gambar yang ia gunakan untuk menyebarkan teorinya. Haeckel memalsukan gambar-gambar untuk menunjukkan bahwa embryo ikan, manusia atau ayam mirip satu sama lain. Beberapa bagian dari embryo ia hilangkan dan beberapa lainnya ia rubah. Bahkan Haeckel sendiri kemudian mengaku bahwa gambar-gambar yang dibuatnya adalah palsu. Tapi, kalangan evolusionis mengabaikan pemalsuan ini demi mempertahankan teori tersebut.
Selain membuat pemalsuan ilmiah, Haeckel juga menyebarkan propaganda Eugenics. Ia manganjurkan agar bayi-bayi cacat baru lahir segera dibunuh untuk mempercepat proses evolusi pada masyarakat manusia. Ia melangkah lebih jauh dan mengusulkan agar orang-orang cacat, lemah mental dan berpenyakit genetis hendaknya langsung dibunuh saja. Jika tidak, kata Haeckel, mereka ini akan membebani masyarakat dan memperlambat evolusi.
Haeckel meninggal tahun 1919, namun kaum Nazi mewarisi gagasan biadabnya. Tak lama setelah Hitler meraih kekuasaan, ia menerapkan kebijakan Eugenics. Mereka yang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan dikumpulkan dalam "pusat-pusat sterilisasi" khusus. Orang-orang ini dianggap parasit yang megancam kemurnian ras Jerman dan menghambat kemajuan evolusi. Dalam waktu singkat, orang-orang ini kemudian dibunuh atas perintah rahasia Hitler.
Dalam upayanya mempercepat evolusi ras Jerman, Hitler telah membunuh banyak orang. Selain itu, ia melaksanakan hal lain yang "diperlukan" dalam Eugenics. Muda mudi berambut pirang dan bermata biru, yang dianggap mewakili ras murni Jerman, dianjurkan untuk saling berhubungan seks. Pada tahun 1935, ladang-ladang khusus reproduksi manusia didirikan. Perwira SS Nazi sering mengunjungi ladang ini, yang didalamnya tinggal wanita muda yang memiliki kriteria ras "Arya". Bayi-bayi haram yang lahir di ladang-ladang ini akan menjadi prajurit masa depan Imperium Jerman.
Dalam rangka memperbaiki keunggulan ras Arya, kaum Nazi menggunakan konsep Darwin. Darwin menyatakan bahwa ukuran tengkorak manusia membesar tatkala ia menaiki tangga evolusi. Kaum Nazi sangat mempercayai gagasan ini dan mengadakan pengukuran tengkorak untuk menunjukkan bahwa Jerman adalah ras unggul. Di seluruh Jerman Nazi, pengukuran dilakukan demi membuktikan bahwa tengkorak Jerman lebih besar dibanding ras-ras lain. Ciri fisik seperti gigi, mata dan rambut diperiksa berdasarkan kriteria evolusionis. Mereka yang kedapatan berukuran di luar kriteria resmi ras Jerman dibinasakan menurut kebijakan Eugenics Nazi.
Semua kebijakan aneh ini diterapkan atas nama Darwinisme. Michael Grodin, sejarahwan Amerika dan penulis buku, The Nazi Doctors and the Nurenberg Code menyatakan fakta ini. Saya pikir apa yang telah terjadi adalah adanya kesesuaian sempurna antara ideologi Nazi dan Darwinisme Sosial dan pemurnian ras ketika terjadi perkembangan di peralihan abad ke-20. Dan para dokter beranggapan bahwa terdapat penyimpangan sosial dan penyimpangan perilaku yang berhubungan secara genetis. Dan terdapat gen baik dan gen buruk. Dan Darwinisme social ini berkembang di seluruh dunia. Para dokter Nazi berkiblat ke Amerika Serikat tempat dimana mereka belajar seluk beluk pemurnian ras ini.
George Stein, peneliti asal Amerika, menjelaskan hal ini dalam majalah American Scientist, "Sosialisme nasional, atau apapun namanya, pada intinya adalah usaha pertama kali yang secara sadar dilakukan untuk membangun komunitas politis di atas sebuah landasan satu kebijakan yang jelas", kebijakan yang sejalan penuh dengan fakta ilmiah revolusi Darwin.
Sir Arthur Keith, seorang evolusionis terkenal berkata tentang Hitler: "Pemimpin Jerman, Hitler, adalah seorang evolusionis; ia dengan sengaja menjadikan Jerman sejalan dengan teori evolusi". Alasan penting lain mengapa Hitler meyakini evolusi adalah bahwa ia menganggap teori ini sebagai senjata melawan agama. Hitler sangat anti terhadap keyakinan monoteistik. Ajaran agama seperti cinta, kasih sayang dan kelembutan sangatlah bertentangan dengan model ras Arya yang bengis dan kejam. Itulah mengapa, sejak Nazi merebut kekuasaan tahun 1933, mereka bertujuan mengembalikan agama paganisme kuno pada masyarakat Jerman. Swastika, simbul yang berasal dari kebudayaan pagan kuno, menjadi simbul bagi perubahan ini.
Perayaan-perayaan Nazi di setiap penjuru Jerman ternyata merupakan penghidupan kembali ritual-ritual pagan kuno.
Seperti disebutkan sebelumnya, teori evolusi sendiri adalah warisan dari kebudayaan pagan. Di sini kita saksikan kaitan tak terpisahkan antara Paganisme, Darwinisme dan Nazisme. Semua pembunuhan yang dilakukan Nazi berawal dari kepercayaan pagan ini. Kaum Nazi menghidupkan kembali kebudayaan biadab pagan dan mendapat dukungan kuat dari teori atheis Darwin untuk membenarkannya.
Sebaliknya, kekejaman, pembunuhan dan kerusakan di bumi sangat dilarang dan dikutuk oleh agama. Dalam Alqur'an, Allah menyeru manusia kepada keadilan, kasing sayang dan kelembutan. Kekejaman dan kesombongan adalah perbuatan terkutuk. Sebagaimana Allah firmankan ayat-Nya; "...dan Allah tidak menyukai kebinasaan". (QS. Al-Baqarah [2]:205).
Benito Musolini, diktator Italia dan termasuk sekutu terpenting Hitler, juga terinspirasi oleh teori evolusi. Di masa mudanya, ia menulis artikel yang menyanjung Darwin sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada. Setelah meraih kekuasaan, Italia fasis menduduki Ethiopia. Ia membenarkan pendudukannya atas Ethiopia dengan pandangan rasis Darwin dan gagasan tentang perjuangan untuk bertahan hidup. Menurut Mussolini, Ethiopia adalah bangsa kelas rendah sebab mereka termasuk ras hitam; karenanya, diperintah oleh ras unggul seperti Italia sudah merupakan akibat alamiah dari evolusi. Mussolini juga terpengaruh oleh pemikiran bahwa bangsa-bangsa berevolusi melalui peperangan. Menurut Mussolini, "keengganan Inggris untuk turut dalam kancah peperangan hanya membuktikan kemunduran evolusi Imperium Inggris".
Akhirnya, imperium Nazi kalah dalam Perang Dunia Kedua dan tercatat dalam sejarah sebagai pembunuh jutaan rakyat tak berdosa. Di sisi lain, Mussolini dihukum mati oleh rakyatnya sendiri. Tetapi sungguh memprihatinkan bahwa pemikiran Darwinis, yang menyediakan landasan berpijak bagi ideologi Nazi, masih tetap bercokol
Baca Selengkapnya >>

SERAT WEDHATAMA II

Karya : Mangkunegara IV
PUPUH I

P A N G K U R

01

Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

02

Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

06

Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

PUPUH II

S I N O M

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

02

Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

03

Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

04

Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

05

Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

06

Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

07

Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

08

Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

09

Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

10

Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

11

Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

12

Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

13

Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

14

Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

15

Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

16

Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

17

Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

18

Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

PUPUH III

P U C U N G

01

Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

02

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

03

Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

04

Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

05

Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

06

Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

07

Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

08

Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

09

Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

10

Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

11

Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

12

Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

13

Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

14

Sakeh luput, ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

15

Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

PUPUH IV

G A M B U H

01

Samengko ingsun tutur, sembah catur: supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

02

Sembah raga puniku, pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

03

Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun, sarengate elok-elok.

04

Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

05

Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

06

Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

07

Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

08

Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

09

Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

10

Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

11

Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

12

Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan marang waspaos.

13

Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

14

Yen wus kambah kadyeku, sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling, Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

15

Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

16

Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

17

Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

18

Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

19

Keleme mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

20

Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

21

Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

22

Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

23

Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

24

Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

25

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

26

Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

27

Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

28

Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

29

Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

30

Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

31

Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

32

Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

33

Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

34

Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

35

Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den anggep dhayoh.

PUPUH V

K I N A N T H I

01

Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

02

Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

03

Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

04

Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

05

Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

06

Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

07

Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

08

Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

09

Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

10

Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

11

Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

12

Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

13

Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

14

Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

15

Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

16

Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

17

Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

18

Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

By Alang Alang Kumitir

www.alangalangkumitir.wordpress.com
Baca Selengkapnya >>

Sabtu, 26 Maret 2011

Syeikh Yusuf Makasar






Syeikh Yusuf Makasar pembela dan penjunjung kebenaran - Syahdan, di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa. Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf. Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.

Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.

Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.''

Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.

Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.

Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.

Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.

Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.

Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.

Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.

Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.

Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.

Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.

Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.

Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.

Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.

Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.

Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.




Ulama Besar dengan Enam Makam


Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah. Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di negara itu.

Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.

Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1995.

Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.

Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.

Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.

Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf


Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.

Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.

Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.

Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.

Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.

Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
Baca Selengkapnya >>