Rabu, 07 November 2012

bunga kantil

Bunga kantil atau bunga cempaka putih, konon disebut sebagai bunga yang memiliki unsur magis. Mitos yang berkembang di masyarakat, aroma bunga kantil yang khas sangat disukai oleh kuntilanak, sejenis makhlus halus berjenis kelamin perempuan. Kuntilanak, menurut mitos ini, sering menjadikan pohon kantil (cempaka putih) sebagai rumah tempat tinggalnya. Terlepas dari mitos tersebut, kantil mempunyai nilai tradisi yang erat bagi masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah baik dalam prosesi perkawinan maupun kematian. Dalam tradisi masyarakat Jawa, setiap mengadakan pesta pernikahan selalu menggunakan bunga kantil untuk menghias rambut. Ini diberikan kepada kedua pasangan pengantin, baik yang laki-laki maupun perempuan. Demikian pula tradisi di Pulau Dewata Bali, bunga yang memiliki nama latin michelia alba ini dipakai untuk pewangi rambut dengan cara menyelipkannya di sela-sela rambut pengantin. Menurut mitos yang beredar, bunga kantil dipercaya dapat mendeteksi keperawanan sang pengantin. Konon, jika sang pengantin wanita sudah tidak gadis lagi, maka bunga kantil yang dikenakkan tidak beraroma wangi dan bunga kantil akan terbuka, tidak menguncup. Sebaliknya jika sang pengantin wanita masih perawan, bunga kantil tetap menguncup dan menebar semerbak aroma mewangi. Bunga kantil juga sering dikaitkan dengan dunia makhluk halus. Konon bagi orang yang percaya hal mistis, bunga kantil adalah bunga yang disenangi makhluk halus seperti jin dan sebagainya. Bunga kantil selain digunakan dalam proses upacara pengantin, juga sebagai jembatan untuk memanggil makhluk halus. Biasanya, bunga Kantil yang digunakan sebagai alat memanggil makhluk halus digabung dengan sesaji. Arti bunga Kantil dalam bahasa Jawa adalah menggantung. Bunga Kantil mempunyai makna ritual yaitu kemantil-kantil yang artinya selalu ingat dimanapun berada atau tetap mempunyai hubungan yang erat walaupun alamnya sudah berbeda. Filosofi inilah yang menjadikan kebanggaan bagi masyarakat Jawa, dan salah satu bentuk apresiasinya adalah penghargaan dalam bentuk karya seni yang beragam seperti dalam ukiran, lukisan batik dan sebagainya. Bunga Kantil dapat tumbuh sampai ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Penyebaran tumbuhan ini dari Asia tropis sampai ke pulau-pulau di Pasifik. Pemanfaatan Bunga Kantil ini umumnya dilakukan pada upacara perkawinan (hiasan sanggul dan keris-red) dan pada upacara kematian, termasuk tabur bunga atau nyekar. Secara medis, bunga, batang, daun kantil (Michelia alba) mengandung alkaloid mikelarbina dan liriodenina yang mempunyai khasiat sebagai ekspektoran dan diuretik. Karena kandungan yang dipunyainya, kantil dipercaya dapat menjadi obat alternatif bagi berbagai penyakit seperti bronkhitis, batuk, demam, keputihan, radang, prostat, infeksi saluran kemih, dan sulit kencing. Sayangnya khasiat yang dipunyai oleh bunga cempaka putih ini belum tereksplorasi secara maksimal. Sehingga meski saat ini mulai ada yang berusaha membudidayakan tanaman ini tetapi pemanfaatannya lebih banyak untuk acara-acara spiritual dan tradisi. Menyimak mitos dan kandungan medis yang menyertai fauna identitas provinsi Jawa Tengah ini, kini tergantung kepada masing- masing kita. Apakah lebih mempercayai tanaman ini sebagai rumah kuntilanak atau justru menyadari khasiat medis sebagai obat alternatif yang amat bermanfaat. Bunga Kantil,Mitos Dan Manfaatnya
Baca Selengkapnya >>

Keris

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan,[1] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya. Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.[ Asal-usul dan fungsi Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara. Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok Ge, belati-kapak dari Tiongkok Kuna (abad V SM sampai III SM), memperlihatkan pamor pada bilahnya. Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan[3]. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson[3], dan menyatu dengan bilahnya. Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme[4]. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro[5]. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.[6] Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris. Prototipe keris dari masa pra-Majapahit Penggambaran benda mirip keris di relief Candi Borobudur. Pahatan arca megalitik dan relief candi dari masa megalitikum sampai abad 10-11 penanggalan Masehi kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji" lainnya yang mirip senjata dari Dongson maupun India. Bentuk senjata tikam yang diduga merupakan prototipe keris tersebut bilahnya belum memiliki kecondongan terhadap ganja sehingga bilah terkesan simetris, selain itu pada umumnya menunjukan hulu/deder/ukiran yang merupakan satu kesatuan dengan bilah (deder iras). Yang paling menyerupai keris adalah peninggalan megalitikum dari lembah Basemah Lahat Sumatera Selatan dari abad 10-5 SM yang menggambarkan kesatria sedang menunggang gajah dengan membawa senjata tikam (belati) sejenis dengan keris hanya saja kecondongan bilah bukan terhadap ganja tetapi terdapat kecondongan (derajat kemiringan) terhadap hulunya. Selain itu satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah. Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan[5]. Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan[5]. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang. Keris pusaka Knaud, salah satu contoh keris Buda. Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (padhuwungan), keris dari masa pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai "keris Buda" atau "keris sombro". Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana[7]. Keris Buda dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk keris Buda yang kerap dikutip adalah milik keluarga Knaud dari Batavia yang didapat Charles Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri Paku Alam V. Keris ini memiliki relief tokoh epik Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan angka tahun Saka 1264 (1342 Masehi), sezaman dengan Candi Penataran, meskipun ada yang meragukan penanggalannya. Relief rendah di Candi Penataran, Blitar. Perhatikan bagian hulu senjata yang tidak simetris dan bilah yang langsing menunjukkan ciri keris modern. Keris Buda memiliki kemiripan bentuk dengan berbagai gambaran belati yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum abad ke-11. Belati pada candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata India, belum mengalami "pemribumian" (indigenisasi). Adanya berbagai penggambaran berbagai "wesi aji" sebagai komponen ikon-ikon dewa Hindu telah membawa sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris kelak. Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan dari belati gaya India menuju keris buda ini. Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran pada masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris. Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14 awal) memegang "wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya. Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di Blitar, Jawa Timur. Keris modern Sanggar Mpu pembuat keris ditampilkan dalam relief Candi Sukuh. Belati tikam dan keris koleksi istana Pagarruyung. Belati tikam telah dikenal dari milenium pertama di Nusantara. Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) tetapi sesungguhnya relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11M keris modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya, selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/dedernya yang terbuat dari tulang sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10M. Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatera Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama- sama menunjukan usia dari abad 10M dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar abad 10 masehi mulai tercipta keris dalam bentuk nya yang modern yang asimetris. Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris. ... . Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou (belati? atau beladau?)yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin. — Ma Huan, "Ying-yai Sheng-lan Fai" Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (pu-la-t'ou)yang diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.[8]. Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah "Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada "belati". Kalau benar yang dimaksud Ma Huan adalah beladau pada maka gambaran Ma Huan tentang senjata yang banyak digunakan di Majapahit ini bukan keris tetapi senjata tradisional sejenis Badik yang sekarang banyak digunakan di Sumatera yang bentuknya melengkung mirip Jambiya, meskipun senjata ini memiliki kecondongan tetapi tidak memiliki ganja dan gandik sehingga tidak dapat digolongkan sebgai keris. Anggapan bahwa yang dimaksud dengan Pu-La-T'ou adalah Beladau pun masih memerlukan penelitian apakah memang pada masa majapahit masyarakat banyak memakai beladau/sejenis badik sebagai senjata. Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa[9]. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya. Berita-berita Portugis dan Perancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara[10]. ... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal... — Tome Pires, "Suma Oriental" Perkembangan fungsi keris Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada. Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!. Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten. Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh)[11]. Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata[12]. "Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup[13][14]. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris. Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan Jawa. Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris menjadi identitas kemelayuan. Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran. Bahan, pembuatan, dan perawatan Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan. Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka[15]. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan. Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak. Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan. Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa. Morfologi Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia. Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka. Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris. Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya. Pegangan keris Sebuah keris dengan pegangan berbentuk Semar Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman, atau hulu keris) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul. Warangka atau sarung keris Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang). Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) . Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran). Wilah Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor. Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting. Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal. Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim. Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini Lihat pula artikel Tangguh keris. Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya[16]. Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris. Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya. Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan. Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan [17]. Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani[17], melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta). Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Solo[17] seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo)[18]. Keris legendaris Keris Mpu Gandring Keris Pusaka Setan Kober Keris Kyai Sengkelat Keris Pusaka Nagasasra Sabuk Inten Keris Kyai Carubuk Keris Kyai Condong Campur Keris Taming Sari Keris Si Ginje sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Keris
Baca Selengkapnya >>

Kujang

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata. Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda. Deskripsi Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat. Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. "Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi." — Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Bagian-bagian Kujang Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan. Mitologi Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu? Cara-ciri Manusia ada 5 Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan". Cara-ciri Bangsa ada 5 Rupa, Basa, Adat, Aksara, Kebudayaan Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya. Sejarah Bentuk Kujang Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian. Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam pikiran Kudo Lalean. Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan. Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat. Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora ,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam. Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat. Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah. Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa kurang. sumber:http://id.wikipedia.org/wik/ kujang
Baca Selengkapnya >>

Minggu, 04 November 2012

Mengingat Mati

KESEMBILAN MAQAM RUHANI YANG TELAH KAMI SEBUTKAN TERDAHULU BUKANLAH SATU KATEGORI YANG BERDIRI SENDIRI-SENDIRI. JUSTRU SEBAGIAN DIANTARANYA MENUNJUKKAN ESENSI MAQAM LAINNYA, SEPERTI PRINSIP ATAU MAQAM CINTA (MAHABBAH) DAN PRINSIP ATAU MAQAM RIDHA (RELA TERHADAP KETETAPAN ALLAH); KEDUANYA MERUPAKAN MAQAM TERTINGGI. DI ANTARA MAQAM TERSEBUT SALING BERKAIT DENGAN MAQAM LAINNYA, SEPERTI MAQAM TOBAT DAN ZUHUD; MAQAM TAKUT (KHAUF) DAN SABAR. SEBAB, TOBAT ITU MERUPAKAN TINDAKAN KEMBALI DARI JALAN YANG MENJAUHKAN (DIRI DARI ALLAH) MENUJU JALAN YANG MENDEKATKAN DIRI KEPADA-NYA. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-Nya; rasa takut (al-khauf) merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-Nya. Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma’rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma’rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat akan mati. Inilah pembahasan yang kami maksudkan. Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati, akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri. Allah Swt. berfirman: “Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu Iari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 8). Rasulullah Saw. bersabda: “Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan-kelezatan!” (Al-Hadis). Beliau juga bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun tidak suka bertemu dengannya.” Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang dikumpulkan bersama para syuhada’ (orang yang mati syahid)?” tanya Aisyah r.a. “Benar,” jawab Rasulullah, “yaitu, orang yang mengingat mati duapuluh kali dalam sehari semalam.” Rasulullah Saw. melintasi sebuah majelis yang penuh dengan gelak tawa, lalu beliau bersabda, “Campurilah majelis kalian dengan pengaruh kelezatan-kelezatan!” “Apakah itu?” di antara mereka mengajukan pertanyaan. “Maut,“ jawab beliau singkat. Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikata binatang-binatang itu tahu akan kematian sebagaimana manusia (mengetahuinya), tentu kalian tidak akan makan daging yang gemuk darinya.” Sabda beliau pula, “Cukup maut sebagai pemberi peringatan.” Sabdanya: “Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. Yang diam adalah maut, sedangkan yang berbicara adalah Al-Qur’an.” (Al-Hadis). Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut di sisi Rasulullah Saw, orang itu selalu dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana teman kalian itu menyebut mati?” “Kami hampir tidak pernah mendengar dia mengingat mati,” jawab mereka. “(Jika demikian), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ,” jawab beliau. Seorang sahabat dan kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?” tanya seorang laki-laki dan (kaum) Anshar. “Yang paling banyak mengingat mati di antara mereka, dan yang paling banyak (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas, mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,” sabda beliau. MANFAAT INGAT KEMATIAN Mati merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun yang luar biasa melebihi kematian ini. Mengingat mati besar manfaatnya. Kematian dapat mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada dunia. Membenci duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan. Bagi orang ‘arif (ahli ma’rifat) mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat. Orang yang mencintai —tidak mustahil— pasti merasakan rindu. Rindu pada hal-hal yang bisa diraba, pengertiannya adalah, penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada penyaksian langsung. Rasa rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan mata. Hal-ihwal akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang ‘arif diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai tipis pada waktu mendung dan cahaya remang. Dia merindukan kesempunaan itu melalui tajalli dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan maut; karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan Allah Swt, bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya. Orientasi duniawi muncul disebabkan oleh kurangnya mengingat mati. Cara untuk bertafakur pada kematian ialah, hendaklah seseorang mengosongkan pikiran dan ingatannya selain kematian. Lalu duduk berkhalwat dan mengendalikan ingatan tentang mati dengan lubuk kalbunya. Mula-mula ia mengingat tentang sahabat-sahabatnya yang telah lalu (meninggal dunia), mengingat mereka satu persatu, lalu mengingat sifat rakus, ambisi, angan-angan dan kecintaan mereka terhadap kedudukan dan harta. Kemudian mengingat pergulatan mereka menjelang direnggut maut dan penyesalannya menyia-nyiakan waktu dan umur. Selanjutnya bertafakur tentang tubuh-tubuh mereka: Bagaimana tubuh-tubuh tersebut terobek-robek dalam tanah dan menjadi bangkai yang dimakan ulat. Lalu, mengembalikan kepada dirinya, bahwa dirinya seperti salah seorang di antara mereka: Angan-angannya seperti angan-angan mereka dan pergulatannya (nanti menjelang kematian) seperti pergulatan mereka. Kemudian perhatiannya dialihkan pada anggota-anggota tubuhnya, bagaimana nanti ia menjadi remuk; selanjutnya dialihkan pada biji matanya, ketika nanti ia dimakan ulat; pada lidahnya ketika lidah itu menjadi usang kemudian menjadi bangkai di dalam mulutnya. Apabila Anda melakukan hal itu, maka bagi Anda dunia atau harta-benda itu kecil dan hina, dan Anda menjadi bahagia. Sebab, orang yang bahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Karena itulah Rasulullah Saw bersabda: “Hai manusia, seakan-akan maut itu telah ditetapkan kepada selain kita, seakan-akan kebenaran itu telah diwajibkan kepada selain kita, dan seakan-akan orang-orang mati yang kita antarkan baru saja pergi, mereka kembali kepada kita, kita tempatkan mereka di makam-makamnya dan kita makan harta-harta peninggalan (warisan)nya, seakan-akan kita (hidup) kekal setelah mereka. Kita melupakan setiap peringatan dan aman (terbebas) dari bencana.” (Al-Hadis). LAMUNAN PANJANG Lamunan panjang merupakan akar dari kelalaian mengingat mati. Lamunan itu merupakan kebodohan yang sebenarnya. Karena itulah Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar r.a.: “Jika masuk waktu pagi, jangan kamu bicarai dirimu tentang sore har. Bila masuk waktu sore, jangan kamu bicarai dirimu tentang pagi. Ambil (kesempatan) dari hidupmu untuk matimu, dari sehatmu untuk sakitmu, sebab kamu hai Abdullah, tidak tahu apa namamu esok hari.” (Al-Hadis). Rasulullah Saw juga bersabda, “Ada dua kebiasaan (perangai) yang paling aku takutkan pada ummatku, yaitu: menuruti hawa nafsu dan lamunan panjang.” Usamah membeli budak wanita sampai dua bulan dengan harga seratus, lalu Rasulullah Saw. berkata: “Apakah kalian tidak merasa heran kepada Usamah, orang yang membeli (budak wanita) sampai dua bulan? Sungguh Usamah itu panjang lamunannya. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, aku tidak akan mengejapkan kedua mataku, kecuali aku telah mengira bahwa tempat tumbuhnya bulu pelupuk mata tidak dapat mengatup hingga Allah mencabut ruhku. Aku tidak akan mengangkat kedua mataku, sedangkan aku mengira bahwa dirikulah sebenarnya yang menaruhnya hingga aku dimatikan, dan aku tidak akan menelan sesuap (makanan), kecuali aku mengira bahwa aku tidak akan memasukkannya ke tenggorokan hingga aku tersekat dengannya karena menjelang kematian.” Kemudian beliau bersabda, “Hai anak Adam, jika kalian berakal, maka hendaklah kalian perhitungkan diri kalian dengan kematian. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepada kalian pasti tiba, dan kalian bukan tidak mampu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Generasi pertama dan ummat ini selamat dengan keyakinan dan kezuhudan, dan akhir ummat ini menjadi binasa karena sifat kikir dan panjang angan-angan.” Dan Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” “Benar,” jawab mereka. “Pendekkanlah angan-angan kalian, jadikan ajal kalian ada di hadapan mata kalian, dan malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya,” sabda beliau. KEMATIAN DIMATA ORANG ARIF Orang ‘arif yang paripurna tidak putus-putus menyebut dan mengingat Allah, tidak lagi mengingat mati, bahkan dia itu fana’ dalam tauhid. Dia tidak pernah menoleh ke masa lalu dan masa depan, tidak pula keadaan dari sisi bahwa itu sekadar keadaan. Dia adalah anak waktunya, patuh kepada sang waktu. Maksudnya, dia seperti orang yang menyatu dengan yang diingat atau disebutkannya. Kami tidak menyatakan bahwa dia menyatu dengan Dzat Allah Swt. Hal ini jangan Anda rasionalisasikan, nanti Anda tergelincir dan salah, kemudian buruk sangka. Orang ‘arif tidak lagi merasakan rasa takut/cemas (khauf) dan rasa berharap (raja’), karena khauf dan raja’ itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana ia akan mengingat mati, padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang ‘arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt, baginya rendah dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan yakin. Inilah makna ucapan Sayyidina Ali r.a, “Jika tirai itu telah dibuka, maka belum bisa menambah keyakinan bagiku.” Orang yang melihat orang lain dari balik tirai, keyakinannya belum bertambah dengan tersingkapnya tirai, hanya saja, bertambah jelas. Maka mengingat mati itu dibutuhkan oleh orang yang kalbunya masih menoleh pada dunia, agar dia tahu bahwa dia akan berpisah dan meninggalkannya, sehingga dia tidak selalu cinta dunia. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Quds (Jibril) membisik dalam hatiku, ‘Cintailah apa yang kamu cintai, sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya. Puaskanlah hidupmu, sebab sesungguhnya kamu itu adalah mayit. Dan beramallah sesukamu, karena sesungguhnya kamu mendapat imbalan dengannya’.” HAKIKAT DAN ESENSI MATI Barangkali Anda ingin tahu hal-ihwal dan hakikat mati. Anda tidak akan pernah mengetahui hal itu sebelum Anda tahu tentang hakikat hidup. Anda tidak akan pernah mengetahui hakikat hidup sebelum Anda tahu tentang ruh; itu adalah diri Anda, esensi dan jatidiri Anda. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri Anda. Anda jangan terlalu giat untuk mengenal Tuhan sebelum Anda kenal diri Anda. Maksud kami dengan diri Anda adalah ruh Anda, sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan T uhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85). Dan dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29). Dimaksud ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh; menyebar ke seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari Situ mengalir cahaya indera penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh kekuatan dan indera-indera lainnya; sebagaimana cahaya pelita mengalir ke seluruh sisi rumah. Ruh Ini sama dengan ruh binatang, ia bisa menjadi binasa dengan maut, sebab itu adalah uap yang kematangannya terus stabil ketika minyaknya masih stabil. Bila minyak itu telah labil, ia jadi rusak sebagaimana cahaya yang mengalir dari pelita itu punah ketika pelita itu padam, karena minyaknya telah habis, atau karena dipadamkan. Ruh semacam ini menjadi binasa (rusak) dengan terputusnya makanan (bagi manusia atau binatang), karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi pelita. Pembunuhan terhadapnya seperti tiupan pada pelita. Ruh semacam ini, kesehatan dan stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma’rifat dan amanat sumber: cahaya sufi.com
Baca Selengkapnya >>