Selasa, 14 Februari 2012

KH Imam Yahya Mahrus Meninggal, NU Kehilangan Aktivis Militan




KEDIRI--MICOM: Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengaku sangat kehilangan KH Imam Yahya Mahrus yang merupakan salah satu aktivis militan Nahdlatul Ulama.

"Kami merasa sangat kehilangan. Beliau adalah aktivis, pejuang, yang sangat militan. Beliau juga ulama NU," katanya dikonfirmasi tentang sosok pemimpin Pondok Pesantren Lirboyo, almarhum KH Imam Yahya yang meninggal akibat komplikasi penyakit di Pondok Pesantren Salafiyah Al Mahrusiyah di Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (15/1).

Ia mengatakan, kedatangannya ke rumah duka sebagai wujud kepedulian dari NU. Selain itu, kedatangannya juga sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum.

Ia juga menyebut, KH Imam Yahya adalah sosok yang sangat rendah hati (tawadu'). Bahkan, saat pertemuan dengan para kiai pun, ia enggan untuk duduk di bangku paling depan.

"Beliau tidak pernah mau duduk di bangku paling depan, dan selalu duduk di bangku belakang. Bahkan, beliau juga tidak pernah panggil nama saya, justru memanggil dengan sebutan Kang, padahal saya ini adiknya," ucapnya.

Ia berharap, arwah KH Imam Yahya tenang di sisiNya, semua dosanya diampuni, dan ia meninggal dengan "khusnul khotimah". Ia juga berharap, warga NU juga melakukan shalat gaib, untuk mendoakan arwah KH Imam Yahya.

Sejumlah keluarga dan para tamu undangan menangis saat jenazah diberangkatkan dari tempatnya disemayamkan, mushalla PP Salafiyah Al Mahrusiyah di Lirboyo. Jenazahnya memang ditempatkan di sana, agar para tamu, santri, bisa melakukan shalat jenazah.

Ribuan orang juga hadir sebagai penghormatan terakhir dari almarhum. Bahkan, shalat jenazah pun dibuat bergelombang, sampai 31 kali, yang dilakukan di mushalla serta masjid utama di PP Lirboyo tersebut.

Sejumlah kiai dari berbagai daerah di Indonesia juga hadir sebagai bentuk penghormatan terakhir, di antaranya KH Nur Huda Djazuli dari Ploso, Kabupaten Kediri, KH Aziz Mansur dari Jombang, serta sejumlah kiai lainnya.

Kegiatan shalat jenazah pun juga dipimpin para kiai yang hadir. Setiap kali shalat jenazah, tak kurang dari 200 orang yang ikut.

Selain dihadiri para kiai, sejumlah tokoh serta muspida Kota Kediri juga hadir, seperti Wakil Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar, Kepala Polres Kediri Kota AKBP Ratno Kuncoro, serta sejumlah tokoh lainnya, termasuk mantan Wali Kota Kediri H A Maschut.

Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Imam Yahya Mahrus wafat setelah sempat dirawat di Graha Amerta, yang merupakan unit khusus di RSU dr Soetomo Surabaya, Sabtu (14/1) malam, sekitar pukul 20.30 WIB, akibat sakit yang dideritanya. Ia dimakamkan di Kelurahan Ngampel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, sesuai dengan wasiatnya.

Kondisi kesehatan dari Rektor Kampus IAIT Kota Kediri itu memang buruk sejak satu tahun terakhir, sudah sering masuk dan keluar rumah sakit. Ia menderita komplikasi penyakit di antaranya tumor paru, diabetes, dan paru-paru basah. KH Imam Yahya meninggalkan seorang istri bernama Nyai Zakiyah serta enam orang anak. (Ant/OL-2)
Baca Selengkapnya >>

K.H. Dr. Hasyim Muzadi: Toleran tanpa Mengorbankan Aqidah

Ia dikenal sosok yang moderat dan toleran. Namun selalu berusaha mempertahankan prinsip-prinsip agama. Baginya, sikap moderat dan toleran tidak boleh mengorbankan aqidah.






Sejak kemunculannya, Nahdlatul Ulama telah dan terus mengukuhkan dirinya sebagai organisasi Islam di Indonesia yang harus dipertimbangkan. Dari zaman ke zaman, organisasi yang memayungi kaum Ahlussunanah wal Jama’ah (di samping beberapa organisasi lain yang sealiran) ini banyak melahirkan dan memunculkan tokoh-tokoh besar yang tidak hanya menjadi tokoh kaum muslimin Indonesia, melainkan juga tokoh bangsa secara keseluruhan.


Di antara tokoh yang dibesarkan oleh NU dan juga mengabdikan dirinya untuk NU sejak muda hingga kini adalah K.H. Dr. Hasyim Muzadi. Perjalanan pengabdiannya di NU adalah perjalanan cukup panjang, mulai dari menjadi ketua ranting NU di Bululwang, Malang, hingga mendapatkan amanah sebagai ketua umum PBNU selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2011.

Berhenti mengemban amanah sebagai ketua umum PBNU tidak membuatnya kehilangan kesibukan, bahkan kesibukannya terus bertambah. Selain mengelola Pesantren Al-Hikam, yang didirikannya di bilangan Depok, Jawa Barat, ia pun tetap aktif dalam berbagai kegiatan di dalam dan luar negeri. Undangan-undangan untuk bicara dalam pelbagai acara pun tetap terus berdatangan, termasuk ceramah-ceramah keagamaan yang memang telah menjadi aktivitasnya sejak muda.

Adik kandung salah seorang tokoh sepuh NU K.H. Muhith Muzadi ini lahir di Tuban, 8 Agustus 1944. Tercatat dua kali ia menjabat ketua umum PBNU, yaitu periode 1999-2004 dan 2004-2009. Ia juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.

Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan menuntaskan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang, Jawa Timur, pada tahun 1969. Selama puluhan tahun pengabdiannya, sebagian besar ia berada di wilayah Jawa Timur. Berbagai aktivitas organisasinya pun ia lalui di daerah basis NU terbesar ini.

Kiai Hasyim pernah menjadi ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Jawa Timur periode 1983-1987. Pada periode hampir bersamaan, ia menjadi ketua PP GP Anshor tahun 1985-1987. Jauh sebelumnya, tahun 1966 ia pernah memimpin Cabang PMII Malang. Hal inilah yang menjadi modal struktural kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.

Dalam periode yang panjang, ia menekuni aktivitas di NU secara berjenjang, sehingga memberikan pengalaman yang banyak dan berharga baginya. Ia memulainya dari ketua ranting NU Bululawang, Malang.

Kiprah di NU mulai dikenal luas ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, yang kemudian menjadi tangga baginya untuk menjadi ketua PBNU pada tahun 1999.

Sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Ia pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan.

Namun, jabatan sebagai ketua umum PBNU-lah yang membuat Hasyim sering menjadi pembicaraan publik dan banyak diundang ke berbagai wilayah. Saat telah menjadi pucuk pimpinan NU, wilayah aktivitas alumnus Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional.

Basis struktural yang kuat itu masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam, Malang, yang memiliki santri yang tidak sedikit dan memiliki kemampuan intelektual yang tidak bisa diremehkan, karena mereka juga para mahasiswa.

Selain sebagai ulama, Kiai Hasyim juga dikenal sebagai sosok nasionalis, demokrat, yang sangat toleran. Ketika terjadi Peristiwa 11 September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki kaitan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia memang salah satu dari sekian tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia Barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.

Kiai Hasyim terjun dalam kegiatan politik praktis sejak Orde Baru masih berkuasa. Dalam perjalanan karier politiknya, ia pernah membuat langkah yang agak mengejutkan, utamanya bagi kalangan nahdliyin. Yaitu, menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres sebagai pendamping Megawati. ”Saya ingin menyatukan kaum nasionalis dan agama,” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi di tahun 2004 itu.

Saat itu tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkahnya terjun ke politik praktis, termasuk pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur.

Terlepas dari hasil yang dicapainya kemudian, langkahnya maju sebagai cawapres tentu memberikan pengalaman yang tidak sedikit baginya dan tentu semakin mematangkan pribadinya.

Pengalaman organisasinya segudang. Ia pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) tahun 1960-1964, kemudian menjadi ketua ranting NU Bululawang-Malang, lalu dipercaya sebagai ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965. Ia pun pernah menjadi ketua Cabang PMII Malang 1966, lalu ketua KAMI Malang 1966, ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971, wakil ketua PCNU Malang 1971-1973, ketua DPC PPP Malang 1973-1977, ketua PCNU Malang 1973-1977, ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987, ketua PP GP Ansor 1985-1987, sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, wakil ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992, ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999, dan mencapai puncaknya ketika menjabat ketua umum PBNU periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.

Di kancah politik, ia juga pernah menjadi anggota DPRD Tingkat II Malang, Jawa Timur, dan kemudian menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987

Sedangkan pendidikannya dimulai dari Madrasah lbtidaiyah Tuban, Jawa Timur, 1950-1953, kemudian SD Tuban, Jawa Timur, 1954-1955, dilanjutkan ke SMPN I Tuban, Jawa Timur, 1955-1956. Setelah itu perjalanan keilmuannya membawanya ke Pesantren Gontor, Ponorogo, dan menimba ilmu di sana dalam kurun waktu 1956 sampai 1962.

Tak puas hanya belajar di Gontor, ia pun sempat belajar di pesantren-pesantren salaf, yakni di Pesantren Senori (Jawa Timur) dan kemudian Pesantren Lasem (Jawa Tengah) meskipun tidak lama. Tahun 1964 ia mengikuti kuliah di IAIN Malang hingga selesai tahun 1969.

Dalam musim haji tahun ini, ia dipercaya sebagai wakil amirul hajj Indonesia mendampingi Menteri Agama Suryadharma Ali, yang menjadi amirul hajj. Saat wukuf di Arafah, Kiai Hasyim Muzadi-lah yang menyampaikan khutbah wukuf. Banyak yang menilai, apa yang disampaikannya sangat bagus dan berbobot. Demikianlah memang adanya.

Sejak jauh sebelum menjadi ketua PBNU sampai ketika menjabatnya dan hingga kini setelah tidak lagi menjadi ketua PBNU, Kiai Hasyim juga terus mengikuti dan mencermati perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan secara aktif melakukan langkah-langkah nyata untuk ikut berperan membenahi persoalan-persoalan umat dan bangsa. Misalnya saja dalam kaitan aksi-aksi terorisme dan radikalisme.

Kiai Hasyim, yang kini masih menjabat sekretaris jenderal International Conference of Islamic Scholar (ICIS), mengatakan, penanggulangan aksi terorisme dan radikalisme tidak bisa hanya dilakukan satu institusi, tetapi harus bersama-sama, melibatkan berbagai unsur. “Aksi terorisme dan gerakan radikalisme sudah menjadi ancaman bagi masyarakat. Untuk itu penanganannya harus dilakukan bersama-sama,” katanya di sela-sela acara Training of Trainers Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia di Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Minggu 16 Oktober 2011.

Ia juga menegaskan, Islam moderat yang tetap mengadopsi kearifan lokal perlu terus dikembangkan, karena, berdasarkan pengalamannya, konsep Islam moderat yang sering disampaikannya dalam berbagai forum internasional mendapatkan sambutan yang cukup baik.

“Di Indonesia penerapan hidup berdampingan dan toleransi antar-sesama berjalan dengan baik, dan itu diakui dunia, namun kita belum sepenuhnya menggali dan menerapkan kemampuan itu,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, Islam moderat yang menekankan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta) adalah yang harus diterapkan, sehingga sudah saatnya warga NU memperkuatnya dengan mengumpulkan khazanah pemikiran untuk didokumentasikan dengan baik sebagai bahan dakwah.

Selain itu, katanya, juga perlu adanya perbaikan berbagai sistem di Indonesia. Ia mencontohkan, UU yang berlaku saat ini membuat pihak eksekutif mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsinya dan terperangkap dalam jebakan sistem. “Ini menyebabkan pemimpinnya ragu menjalankan kebijakan, karena dibatasi oleh sistem yang ada,” ujarnya.

Polisi, ia melanjutkan, juga baru bisa menangkap pelaku teroris kalau sudah melakukan pengeboman dan teror, karena mereka bisa dianggap melakukan pelanggaran HAM jika tidak ada bukti.

Karena beberapa pelaku teroris ada yang pernah belajar di pesantren, selama ini terorisme sering dikaitkan dengan pesantren. Meskipun demikian, ia sangat mewanti-wanti, jangan sampai langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi masalah itu merugikan pesantren. Apalagi dijadikan alat untuk membatasi ruang gerak pesantren. Harus tepat sasaran dan harus dapat membedakan mana pesantren yang terkait dengan gerakan-gerakan itu dan mana yang bukan. Itu harapan yang sangat ditekankannya. Bahkan faktanya, tidak satu pun teroris itu berasal dari pesantren NU, atau yang sealiran.
Ia juga mengatakan bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok garis keras itu harus dirangkul dan disadarkan, bukan dimusuhi dan dibasmi. Yang harus dimusuhi dan dibasmi adalah tindakannya dan pemikirannya, bukan orangnya. Kecuali mereka yang telah melakukan teror dan tindakan-tindakan kriminal. Tentu harus ditangkap dan diproses secara hukum.

Lebih lanjut ia mengatakan, sejak awal NU tetap konsisten menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, karena substansi Pancasila juga merupakan bagian dari kaidah ushuliyah.

“Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan hasil jerih payah semua pejuang warga Indonesia, tanpa pandang bulu,” katanya.

Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa liberalisasi agama perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan dampak buruk dalam kehidupan keagamaan. “Liberalisasi agama memiliki dampak yang bahaya bagi aqidah Islam, terutama di kalangan kaum muda,” kata Kiai Hasyim dalam acara tersebut. Dalam konteks inilah, kita, umat Islam, seharusnya tidak memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan pemikirannya yang merusak prinsip-prinsip aqidah. Namun, kita juga tidak boleh terjebak pada tindakan yang anarkis.

Ia mengatakan, liberalisasi agama telah menjadikan obyek sasarannya pada dua ormas besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Secara makro, liberalisasi agama adalah bagian dari liberalisasi secara umum.

Hasyim Muzadi menilai, Indonesia saat ini dipojokkan dan diganggu, dari dalam maupun luar.

Dikatakannya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini mendapatkan ujian. Ibarat perahu, kita ini diombang-ambing di tengah laut lepas, dibiarkan tanpa ada penunjuk arah.

Ia mengatakan, untuk mengatasi ujian itu salah satunya adalah melalui Islam yang moderat, yaitu antara liberal dan radikal. Dengan kata lain, NU, yang terkenal moderat, bisa menjadi jalan tengah di antara dua gerakan tersebut.

Dikatakannya, hal itu bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan khazanah pemikiran Walisanga dan ulama untuk didokumentasikan secara baik.

Di tengah-tengah kesibukannya, beberapa buku berbobot telah lahir lewat goresan penanya. Di antaranya Membangun NU Pasca Gus Dur (Grasindo, Jakarta, 1999), NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Logos, Jakarta, 1999), dan Menyembuhkan Luka NU (Logos, Jakarta, 2002).
http://majalah-alkisah.com/index.php/tamu-kita/977-kh-dr-hasyim-muzadi-toleran-tanpa-mengorbankan-aqidah
Baca Selengkapnya >>