Selasa, 03 Februari 2015

WEJANGAN WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

RIWAYAT KI AGENG SURYOMENTARAM PANGERAN YANG KECEWA Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri. Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih. BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa. KABUR Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu: Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya. Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari. Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso. Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur. PULANG Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya. Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya. BEBAS Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina. Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali. Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan. Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati. Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang. Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun. PERJUANGAN MORAL Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah. Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu: Ki Gede Suryomentaram, Ki Hadjar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram), Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro. Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas. Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua. Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram. PENCERAHAN Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa. Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.” Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing. Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”. Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut. Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu. Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.” PEMBENTUKAN P-E-T-A ( Baca pula kesaksian-kesaksian ) Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan. Pada pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah: Membela majikan lama yaitu Belanda. Ganti majikan baru yaitu Jepang. Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka. Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain. Pertemuan “Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa. Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara). Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama “Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang. Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo. Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala Sembilan”, masing-masing adalah: Ki Suwarjono Ki Sakirdanarli Ki Atmosutidjo Ki Pronowidigdo Ki Prawirowiworo Ki Darmosugito Ki Asrar Ki Atmokusumo Ki Ageng Suryomentaram Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk. Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya. PENUTUP Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari. Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri”. Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Sakitnya makin lama makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta. Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri. Seorang putra telah meninggal. Mereka adalah: RMF Pannie RM Jegot (meninggal) RM Grangsang RA Japrut RA Dlureg RA Gresah RA Semplah Ki Ageng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera.
Baca Selengkapnya >>

Minggu, 20 Juli 2014

KISAH SINGKAT IMAM IBNU MALIK MENGARANG KITAB ALFIYYAH

Imam ibnu malik sewaktu mengarang nadlom alfiyyah, setelah mendapatkan seribu bait, beliau ingin menulis kembali karyanya, namun ketika sampai pada bait; “FAIQOTAN MINHA BI ALFI BAITIN” (Alfiyyah ibnu malik mengungguli alfiyyah ibnu Mu’thi dengan menggunakan seribu bait) beliau tidak mampu meneruskan karangannya dalam beberapa hari, kemudian beliau bermimpi dalam tidurnya bertemu seseorang, dan orang itu bertanya; “katanya kamu mengarang seribu bait yang menerangkan ilmu nahwu” imam ibnu malik menjawab; “iya” orang itu lalu bertanya; “ sampai dimana karanganmu?” lalu dijawab; ”sampai pada bait…FAIQOTAN MINHA BIALFI BAITIN” “Apa yang menyebabkan kamu tercegah menyempurnakan bait itu?” lalu dijawab; “saya tidak mampu meneruskan sejak beberapa hari” lalu ditanya;”apakah kamu ingin menyempurnakannya?” dijawab “iya” lalu orang itu berkata; “orang yang masih hidup mampu mengalahkan seribu orang yang mati” Ibnu malik berkata;” apakah kau ini guruku?, imam ibnu mu’thi?” lalu dijawab “iya” kemudian imam ibnu malik merasa malu,dan paginya mengganti separuh bait tersebut dengan bait; وَهْوَ بِسَبْقِ حَائِزٌ تفضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اْلجَمِيْلَا (ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya,dan sepantasnyalah pujian baikku untuknya) Setelah itu imam ibnu malik mampu menyelesaikan kembali karangannya hingga sempurna. BAIT-BAIT MAGIC AL-FIYYAH () وهْوَ بِسَبْق حَائِزٌ تَفْضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اٌلجَمِيْلَا () وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتِ وَافِرَة # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الٌاَخِرَة (6) ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya, dan sudah sepantasnyalah pujian baikku untuknya. (7) Semoga Allah memastikan pahala yang berlimpah bagiku dan baginya, yaitu kedudukan yang tinggi di akhirat nanti. Ma’na tafsiri: Kelompok yang besar itu hendaklah mempunyai keutamaan / keistimewaan (تَفْضِيْلَا) dan pengabulan (مُسْتَوْجِبٌ) yaitu memberikan haq terhadap orang-orang yang memujinya dengan baik (ثَنَائِي اٌلجَمِيٌلَا) (وَاللهُ يَقٌضِي) Allah memberikan aku dan mereka derajat (بِهِبَاتِ وَافِرَة) yaitu berupa ni’mat yang sempurna di akhirat. () كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ # وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفُ اْلكَلِمْ (8) kalam menurut istilah para ahli nahwu (nahwiyyin) ialah lafadl yang bermakna lengkap seperti lafadl “اسْتَقِمْ” (luruslah kamu). Sedangkan isim,fi’il dan huruf ,itu kalim namanya. Ma’na tafsiri: Bait ini memberikan penjelasan tentang perintah kepada kita agar selalu untuk beristiqomah (اسْتَقِمْ). () وَكُلُّ حَرْفِ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَا # وَاْلأَصْلُ فِي اْلمَبْنِيِّ أَن يُسَكَّنَا (21) semua huruf berhak untuk di mabnikan, dan bentuk asal mabni adalah sukun Ma’na tafsiri: Setiap sesuatu (كُلُّ حَرْفِ) itu butuh kepada suatu pembinaan (اَلْبِنَا) dan sifat yang paling baik dalam membina adalah ketenangan (اَنْ يُسَكَّنَا). () فَارْفَعْ بِضَمِّ وَانْصِبَنْ فَتْحَا وَجُرْ # كَسْرٌ كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ () وَجْزِمْ بِتَسْكِيْنِ وَغَيْرُ مَاذُكِرْ # يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُو نَمِرْ (25) rofa’kanlah dengan harokat dlommah, dan nasobkanlah dengan harokat fathah, serta jerkanlah dengan harokat kasroh seperti dalam lafadz ذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ) ) (26) jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang telah disebutkan ada penggantinya seperti lafadl جَا أَخُو نَمِر Ma’na tafsiri : 1. Ustadz Luqman berpendapat bahwa di dalam bait ini menjelaskan tentang hubungan hidup berumah tangga. Didalam hubungan sebuah pernikahan/berumah tangga haruslah memperhatikan poin-poin di bawah ini: 1. (فَارْفَعْ) junjunglah sebuah kekompakan (بِضَمِّ) diantara suami istri 2. (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) dan tegakkan keterbukaan diantara suami istri 3. (وَجُرْ) tarik dan buanglah sebuah permasalahan yang menjadikan perpecahan (كَسْرٌ) didalam berumah tangga 4. (كَذِ كْرُاللهِ) dan hendaklah selalu berdoa kepada Allah SWT 5. (وَجْزِمْ) dan mantapkan, yaitu dengan berpendirian teguh (بِتَسْكِيْنِ) serta istiqomah 2. ma’na tafsiran yang lain 1. ( فَارْفَعْ) angkatlah agama islam dengan sebuah persatuan (بِضَمِّ) 2. (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) bersungguh-sungguhlah dalam menjaga hafalan 3. (وَجُرْ كَسْرٌ) dan perkara yang ditakuti adalah sebuah perpecahan Rahasia pembagian I’rob: Seperti yang sudah kita ketahui bahwa i’rob terbagi menjadi empat macam, yaitu rafa’, nashab,khafad, dan jazm. Tapi tahukah kamu bahwa Perubahan yang terjadi pada i’rob itu juga sama seperti perubahan yang terjadi pada seseorang. yaitu ada empat macam; 1. Rafa’, yaitu tingginya derajat, kemuliaan dan kedudukan disisi Allah Ta’ala. Yang mendorong rafa’ adalah mengenal Allah; melaksanakan ketaatan kepadaNYA serta bergaul dengan orang-orang mulia yaitu para waliyulloh rodhiyallohu ‘anhum 2. Kebalikan dari rafa’ adalah khafadh, yaitu kerendahan dan kehinaan. Yang mendorong khafadh adalah kebodohan; terus menerus mengikuti gejolak hawa nafsu. 3. Nashab, yaitu ketegaran diri dalam mengikuti arus perjalanan takdir . inilah maqam ridlo dan pasrah. Ini merupakan maqam para ‘arif yang mencapai wushul. 4. Jazm, yaitu kemantapan dan keteguhan hati untuk meniti perjalanan, memerangi hawa nafsu, dan menanggung penderitaan dalam perjuangan menuju wushul, hingga mencapai kesempurn-aan musyahadah () لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ # كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ (57) dlomir naa tetap akan terus dibaca naa meskipun berada dalam keadaan rofa’,nashob,dan jar, seperti lafadl كاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاح “ketahuilah, sesungguhnya kita telah memperoleh anugerah yang banyak” Ma’na tafsiri: 1. Ustadz luqman berpendapat bahwa ma’na yang terkandung didalam bait ini adalah menunjukkan sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan continue seperti dlomir (نَا) jika kita sedang dalam keadaan yang tinggi/agung (رفع) atau tengah-tengah (النَّصْبِ) atau dibawah (جَرِّ) janganlah berubah dari aktifitas kita sehari-hari seperti aktifitas sebelum kita berada dibawah atau diatas. 2. Di dalam bait ini mengajarkan kita agar kita bisa menjadi seperti dlomir na (نَا) yaitu teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran baru () وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُتَّصِلْ # إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ (63) dalam keadaan ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh mendatangkan dlomir munfasil, selagi masih diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil Ma’na tafsiri:Bait ini menjelaskan kita dianjurkan agar tidak minta bantuan kepada selain Allah selama kita tidak kepepet dan masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan benda atau orang lain. () وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ # وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ (66) dahulukanlah yang khusus dalam muttashil, dan dahulukanlah yang anda sukai dalam keadaan munfashil Ma’na tafsiri:Dahulukanlah orang yang lebih khusus/ istimewa bagimu, daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang tidak kamu kenali. () وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ # مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ (125) tidak di perbolehkan membuat mubtada’ dengan memakai isim yang nakiroh,selagi tidak memberi faedah, seperti pada lafad عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَة Ma’na tafsiri:Al mubtada’ diumpamakan sebagai seorang pimpinan yang ma’rifat (mengetahui), dan wajib bagi dia menjelaskan perkara yang menyenangkan,berilmu,dan punya kekuasaan, dan bisa dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh) () وَأَخْبَرٌوا بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَ # عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا (142) para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau lebih Ma’na tafsiri; Seperti halnya yang sudah kita ketahui bahwa setiap mubtada’ hanya mempunyai satu khobar, tapi juga di perbolehkan mubtada’ itu mempunyai lebih dari satu khobar seperti contoh زَيْدٌ قَائِمٌ ضَاحِاكٌ Nah…المبتداء pada bait ini di seumpamakan dengan seorang laki-laki /suami.sedangkan خبر di seumpamakan seoranng istri. Jadi di dalam bait ini juga menjelaskan, bahwa pada umumnya laki-laki hanya punya satu orang istri,tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari satu () لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ # وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ (302) aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut, sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong Ma’na tafsiri: Bait ini juga bisa dibuat sebagai dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh,meskipun barisan musuh lebih banyak. () وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِيِ خَلَفَا # عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَ (413) lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam I’rob apabila mudhof di buang Ma’na tafsiri: Jika mudlof terbuang maka tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan hubungan antara kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah kamu seperti seorang santri. Jangan sok-sokan berlagak layaknya kyai. Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu melakukan trtadisi atau perbuatan yang dilakukan oleh kyaimu dulu. () فَأَلِّفُ التَّأْنِيْسِ مُطْلَقَا مَنَعْ # صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ (650) alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, manakala memasukinya Ma’na tafsiri:(أَلِّفُ) cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْسِ) itu tercegah dengan mutlaq (مُطْلَقَا مَنَعْ) karena cinta tersebut bisa Mencegah dari kesuksesan angan-angan.
Baca Selengkapnya >>

Wasiat Abuya Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani رضي الله عنه

Diantara wasiat beliau رضي الله عنه: aku mewasiatkan orang yang telah aku ijazahkan dan diriku supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah, membetulkan niat menuntut ilmu dengan ikhlas dan jujur kerana menuntut keredhaan Allah semata-mata aku mewasiatkan juga supaya bersungguh-sungguh menuntut ilmu aku mewasiatkan supaya menjadi al-Quran sebagai witid ,bertafakkur tentang kandungan ayat-ayatnya sesempurna yang mungkin dan mendalami mutiara-mutiara maknanya untuk mengeluarkan daripada perbendaharaan dan permatanya sesuatu yang melapangkan dada mu, menambahkan lagi keyaqinan dan agammu, menghadirkan kebesaran pemiliknya (Allah) aku juga mewasiatkan supaya menjadikan bacaan kitab-kitab shufi sebagai wirid. Maka perkemaskan renangan kamu didalamnya.jadikan ia sebagai shahabat dan teman mesra pada waktu pagi dan petang dan pegangan kamu pada semua keadaan. Taklifkan diri kamu untuk beramal dengan isi kandungnya dan meninggalkan perkara-perkara yang ditegahnya. aku juga mewasiatkan kepada kamu supaya berakhlaq baik terhadap semua manusia ….. jadilah kamu manusia yang paling lemah lembut dan bersopan santun, memaafkan orang yang menzalimi kamu, memberi kepada orang yang memutuskan hubungan dengan kamu dan membalas orang yang melakukan kejahatan terhadap kamu dengan kebaikan. Maafkan kesalahannya terhadap kamu sekalipin kesalahannya itu besar. Kasihilah orang-orang faqir dan lemah, duduklah bersama orang-orang miskin dan hadiri semua majlis mereka tanpa merasakan bahwa kamu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka, tetapi rasakanlah bahwa kamu merupakan orang yang paling hina dikalangan mereka. aku juga mewasiatkan kamu dengan sifat wara’ kerana ia merupakan asas agama ini dan pegangan orang-orang yang matlamatnya untuk mennuntut redha Allah aku juga mewasiatkan supaya bersangka baik terhadap Allah dan sekalian kamum Muslimin kerana sifat tersebut mengandungi segala keuntungan aku juga mewasiatkan supaya bersungguh-sungguh menyebarkan ilmu dan mengajar manusia … Beliau رضي الله عنه mengakhiri wasiatnya dengan wasiat yang dikhabarkan oleh ayahanda beliau, al-Habib as-Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas al-Maliki daripada al-Habib ‘Alawi ibn Thohir al-Haddad, sebagaimana wasiat beliau kepada ayahandanya: Hendaklah orang yang diijazahkan menjadikan sebuah kitab tertentu sebagai rujukan dan peringatan terutama apabila sibuk berdakwah kepada Allah. Perkara pertama yang perlu dilazimi oleh orang yang ingin berdakwah selepas memahami hukum-hakam syariat ialah mengetahui segala janji baikNya bagi orang yang melakukan ketaatan dan janji burukNya bagi orang yang melakukan ma’siat yang terkandung di dalam al-Quran dan Hadits. Maka kepadanya hati-hati sentiasa berasa rindu dan didalamnya terdapat cahaya iman. Untuk mengetahui semua perkara tersebut, memadailah dengan membaca kitab an-Nasho`ih ad- Diniyah wal Washoya al-Imaniyah (karangan al-Imam al-Habib Abdullah al-Hadddd). Sekalipun ia ringkas tetapi telah mengumpulkan perkara-perkara yang tidak dapat tهdak diperlukan oleh semua orang Islam. Sekiranya hendak mengetahui thariqat yang khusus dan adab yang telah disyariatkan, hendaklah melazimkan membaca kitab ad-Dakwah at-Tammah wat Tazkirah al-‘Ammah (karangan al-Imam al-Habib Abdullah al-Hadddd). Jangan membaca tujuan untuk mengambil berkat sebagaimana mereka katakan, tetapi berazam membacanya untuk mendapatkan kefahaman dan memberi kefahaman kepada orang lain. Maka keberkatan yang sebenar ialah apabila disertakan dengan amal. ……….. ……… berwaspadalah daripada menjadikan suatu kebiasaan hanya mengulang-ulang membaca permasalahan fiqih, siang dan malam, semasa tua dan muda tanpa membaca kitab agama yang lain seperti ilmu tafsir, hadits dan tasawuf. Dengan membataskan bacaan hanya kepada kitab-kitab fiqih adalah suatu kelemahan, kejumudan dan menjauhkan diri daripada akhlaq yang baik serta mewariskan kekerasan hati. Demikianlah telah diperkatakan oleh syaikh-syaikh kami dan lain-lainnya ……… …. Kemudian beliau berkata: Apabila zaman telah menjadi zaman bid’ah, fitnah, kesamaran, maka hendaklah penuntut-penuntut ilmu mempersiapkan dirinya untuk menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mempertahankan agama Allah dan menegakkan hujjahNya di tas muka bumi. Seseorang itu tidak akan mampu menjadi seperti itu, jika tidak mengambil setiap ilmu dengan secukupnya. Sesiapa yang memohon pertolongan Allah, maka Allah akan membantunya
Baca Selengkapnya >>

Rabu, 16 Juli 2014

Habib Umar bin Hafidz

Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz Ia dilahirkan pada hari senin, 27 Mei 1963 M [Kalender Hijriyah: 4 Muharram 1383][1]. Adalah seorang ulama dunia era modern. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana ia mengawasi perkembangan di Dar-al Musthafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen ia. Ia masih memegang peran aktif dalam dakwah agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga ia meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya Kehidupan awal[sunting | sunting sumber] Ia terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad[2]. Ia dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim[2]. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam[2]. Ia secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal[2]. Demikian pula kedua kakek ia, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya[2]. Ia adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w. Masa Kecil Ia telah mampu menghafal Al-Qur'an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fikih, hadits, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim. Ia pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir. Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum ia mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Dikirim ke kota Al Bayda Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan ia dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan ia. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji ia terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha ia yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w. Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi ia mulai berkumpul mengelilingi ia dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan ia dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, ia mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada ia perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri ia terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung. Tak lama setelah itu, ia melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, ia diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga ia dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula ia diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib 'Attas al-Habashi. Setelah Perjalanan ke Hijaz nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha ia dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran ia, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku ia yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama ia tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran ia mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran pada masa depan. Pulang ke Tarim[sunting | sunting sumber] Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah[2]. Pada tahun 1993 M atau sekitar 1414 H, Al Habib umar mengabadikan ajaran-ajarannya dengan membangun Dar-al Musthafa/Pondok Pesantren Darul Musthafa[4]. Pesantren ini didirikan dengan tiga tujuan : Mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman secara bertatap muka(talaqqi) dan para pengajarnya adalah para ahli yang memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.[4] Menyucikan diri dan memperbaiki akhlaq[4] Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada jalan yang dirihai Allah swt dan sesuai dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW serta para salafunassahlihin[4] Dar-al Musthafa menjadi hadiah ia bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah ajaran para salafunasshalihin diserukan, hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia[4]. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis[2][4]. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar[2][4]. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan[2]. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen Al Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka[2]. Dakwah di Indonesia[sunting | sunting sumber] Awal kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994[5]. Ia diutus oleh Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah(semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia, disebabkan sebelumnya ada keluhan dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi seorang ulama dan tokoh asal Kota Solo/ Kota Surakarta, Jawa Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai ajaran para leluhurnya[5]. Dakwah ia juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia[1]. Masyarakat menyambut ia dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakek ia yang kedua, Al Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia. Dakwah ia yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dan kakek ia Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua muda[1]. Di Indonesia Al Habib Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Kementerian Agama Indonesia meminta pembuatan kerjasama dengan Al Habib Umar dan Dar-al Musthafa untuk pengiriman Sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya para kiai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan dibawah bimbingan langsung Al Habib Umar[1]. Sampai saat ini, banyak sudah santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang ia pimpin, Dar-al Musthafa di Hadhramaut, dan telah melahirkan banyak da’i-da’i yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia[1]. Penghargaan & Kiprah Internasional[sunting | sunting sumber] The Second Muslim Catholic Forum 2011, at the Baptism Site, Jordan A Common Word Conference with The Archbishop of Canterbury and Cambridge University October 15, 2008 Pada tanggal 22 Februari sampai dengan 2 Maret 2003 (26-29 Dzul Hijjah 1423 H) di Dar-al Musthafa, Tarim ia merintis upaya persatuan dalam aktifitas dakwah, dengan mengadakan multaqa ulama atau simponsium yang dalam pertemuan itu di hadiri oleh berbagai ulama dari belahan dunia, dan kemudian berlanjut pada pertemuan berikutnya diberbagai penjuru dunia dalam skala lokal maupun internasional[6] Habib Umar termasuk sebagai salah seorang penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman pada tahun 2005, pada urutan tandatangan nomor 549[7], dan A Common Word (bahasa Inggris: A Common Word Between Us and You) pada tahun 2007 dalam urutan tandatangan nomor 42[8], yang keduanya ditandatangani oleh tokoh-tokoh Muslim dunia, termasuk di antaranya beberapa pemimpin Muslim Indonesia[6] Di Indonesia, Habib Umar mendeklarasi berdirinya Majelis Almuwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum Silaturrahmi Antar Ulama pada tahun 1327 H / 2007 M. Tahun 2009, New York Times menampilkan Al Habib Umar dan Darul Musthafa dalam salah satu pemberitaannya[6] Al Habib Umar bin Hafizh termasuk salah satu dari 50 Urutan teratas dari The Muslim 500: The Wordl's 500 Most Influential Muslims(bahasa Inggris: The 500 Most Influental Muslims), yang diterbitkan oleh Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University(bahasa Inggris: Georgetown University), Amerika Serikat, yang dipimpin oleh sarjana studi Islam ternama John Esposito[6][9](bahasa Inggris: John Esposito). . Wasiat dan Nasihat[sunting | sunting sumber] Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu, niscaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah[10] Barang siapa semakin mengenal kepada Allah niscaya akan semakin takut kepada-Nya.[10] Barang siapa yang tidak mau duduk dengan orang-orang yang beruntung, bagaimana mungkin ia akan menjadi orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang duduk dengan orang-orang yang beruntung, bagaimana mungkin ia tidak akan menjadi orang yang beruntung.[10] Barang siapa menjadikan kematiaannya sebagai pertemuan dengan Sang Kekasih (Yaitu Allah swt dan Rasul-Nya), maka kematian itu merupakan hari raya baginya.[10] Barang siapa percaya dan yakin pada risalah diutusnya Nabi Muhammad saw, maka ia akan mengabdi dan menannggung sabar karenanya. Dan barang siapa percaya yang membenarkan risalah kerasulan Muhammad saw, maka ia akan mengorbankan harta dan jiwa untuknya.[10][11] Kedekatan seseorang dengan para nabi di hari kiamat menurut kadar perhatiannya terhadap dakwah saat orang tersebut berada di alam dunia.[11] Betapa anehnya penduduk bumi ini, semua yang berada di bumi ini adalah pelajaran, namun mengapa mereka tidak mau belajar darinya. Kukira tidak ada sejengkal tanahpun di muka bumi, kecuali di situ ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang berakal apabila mau mempelajarinya.[11] Sebaik-baik nafsu adalah yang dilawan dan seburuk-buruk nafsu adalah yang diikuti.[11] Tanpa menahan hawa nafsu maka manusia sama sekali tidak akan sampai pada Tuhannya. Ketahuilah bahwa kedekatan manusia terhadap Allah swt menurut kadar kebersihan jiwanya.[11] Jikalau sebuah hati telah terbuka, maka ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya.[12] Barang siapa yang mempunyai samudra ilmu, kemudian kejatuhan setetes hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan merusak samudra tersebut.[12] Sesaat dari saat-saat khidmat (pengabdian), lebih baik daripada melihat Arsy(singgasana Allah swt) dan seisinya seribu kali.[12] Menyatunya seorang murid dengan gurunya, merupakan permulaan di dalam menyatunya dengan Rasulullah SAW. Sedangkan menyatunya dengan Rasulullah SAW, merupakan permulaan untuk lupa kepada yang selain Allah swt[12] Manusia di setiap waktu senantiasa terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah, golongan yang diwajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas sujud. Sedangkan golongan kedua adalah, golongan yang di wajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas keingkaran.[12][13] Barang siapa yang menuntut keluhuran, maka tidak akan peduli terhadap pengorbanan.[13] Sesungguhnya di dalam sujud terdapat hakikat, yang mana apabila cahanya turun pada hati seorang hamba, maka hati tersebut akan sujud selama-lamanya dan tidak akan mengangkat kepala dari sujudnya.[13] Yang wajib bagi kita yaitu harus menjadi da’i(menyampaikan apa yang kita ketahui) dan tidak harus menjadi qodli(hakim/orang yang memutuskan suatu perkara dalam agama) ataupun mufti (orang yang memberikan fatwa)[13] Arti dakwah adalah memindahkan manusia dari kejelekan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ingat kepada Allah swt dan dari keberpalingan kembali menuju Allah swt, serta dari sifat yang buruk menuju sifat yang baik[13] Syetan itu mencari sahabat-sahabatnya dan Allah pula yang menjaga kekasih-kekasih-Nya.[14] Apabila semakin agung nilai ibadah dalam hati seseorang maka ringanlah semua kebiasaan baginya dan akan keluar keagungan kebiasaan dari dirinya.[14] Apabila benar keluarnya seseorang di dalam berdakwah, maka ia akan naik ke derajat yang tinggi.[14] Keluarkanlah rasa takut kepada makhluk dari dalam hatimu, niscaya engkau akan tenang dengan rasa takut kepada Sang Khaliq (Allah swt yang Maha Pencipta). Dan keluarkanlah rasa berharap pada makhluk dari dalam hatimu maka engkau akan merasakan kenikmatan dengan hanya berharap pada Sang Khaliq.[14] Banyak bergurau dan bercanda merupakan pertanda sepinya hati dari mengagungkan Allah swt dan merupakan tanda-tanda dari lemahnya keimanan seseorang.[14] Hakikat tauhid adalah membaca Al Qur’an dengan merenungi artinya(Tadabbur) dan bangun diwaktu malam(untuk mengisi kemuliaan diwaktu malam dengan berbagai ibadah yang mendatangkan keridhaan Allah swt).[15] Tidak akan naik pada derajat yang tinggi kecuali dengan himmah (cita-cita yang kuat).[15] Barang siapa memperhatikan waktu, maka ia akan selamat dari murka Allah.[15] Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis dalam keheningan malam.[15] Orang yang selalu mempunyai hubungan dengan Allah swt, maka Allah swt akan memenuhi hatinya dengan rahmat-Nya di setiap waktu.[15] Janganlah urusan dunia kita mengalahkan urusan akhirat kita.[16] Carilah dunia sebanyak mungkin, namun janganlah urusan duniamu mengalahkan urusan akhiratmu.[16] Selalulah bersyukur kepada segala pemberian Allah, baik yang besar maupun yang kecil. Contoh yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Seperti menjilati tangan sehabis makan adalah salah satu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah swt.[16] Tidak menyisakan nasi dalam piring bidangan kita juga merupakan bentuk rasa syukur kita, mengambil sebutir nasi yang terjatuh dari piring kita untuk dimakan adalah juga suatu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah swt.[16] Kita harus bersyukur walau hanya dapat makan dengan nasi putih saja. Karena Allah swt telah berfirman: "Barangsiapa bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambahkan nikmat kepadanya"(QS.Ibrahim-14:7). Wahai para hadirin, kata"Aku" disini adalah Allah, jadi Allah sendiri yang akan menambahkan dan memberi tambahan nikmat-Nya atas orang yang mau bersyukur.""[16] Sungguh agung dan suci anugrah-Nya. Dikatakan bahwa barangsiapa yang taat dan patuh kepada Allah, maka memerintahkan dunia untuk tunduk dan mendatanginya serta melayani hamba-Nya itu.[17]
Baca Selengkapnya >>

Rabu, 17 Juli 2013

situs situs download buku islam novel dan lain lain

http://bukugratisuntukmu.blogspot.com http://blogomasupartana.blogspot.com/ http://super-bee.blogspot.com/ http://anasunni.wordpress.com/category/download/download-kitab-terjemah/ http://pustaka-darulhikmah.blogspot.com/2011/02/filsafat-negara-gus-dur.html http://gfp-online.blogspot.com/search/label/Videos http://bukutasawuf.wordpress.com/ pustakaloka.wordpress.com/2009/11/03/musyawarah-burung/‎ http://www.pustaka-sufi.blogspot.com/ http://boekoe-gratis.blogspot.com/2010/08/download-ebook-nashruddin-canda-ala.html http://bokuse.blogspot.com/2010/08/download-ebook-nashruddin-canda-ala-sufi.html http://free4gratis.wordpress.com/tag/download-buku-sufi-gratis/ http://marahitu.blogspot.com/2012/12/buku-tassawuf.html http://soffarjunaedi.wordpress.com/2010/07/19/gratis-ebook-sufi-rahasia-makrifat/ http://download-sufi.blogspot.com/ http://e-bookfree.blogspot.com/2012/08/100-tokoh-yang-mengubah-indonesia.html http://downloadnovelterbaru.com/biografi-pengusaha/ http://semua-buku-kita.blogspot.com/2008/06/kumpulan-e-book-biografi.html http://islamterbuktibenar.net/?pg=custom&id=4216 http://iwanwahyu.mywapblog.com/free-download-ebook-islami-gratis-cuma-c.xhtml http://jifasmart.blogspot.com/2009/08/download-e-book-islami-3-dimensi.html http://islamwiki.blogspot.com/2011/04/ebook-download.html http://semuauntukibadah.blogspot.com/2011/12/kumpulan-ebook-gratis.html http://www.bukupositif.com/ http://gemainsani.co.id/index.php/web/data/3.2 http://www.perpusonline.com/ http://www.ebooktwit.com/ http://bukupratinjau.blogspot.com/ http://halaqohdakwah.wordpress.com/e-book/ http://pustakaflaneliajasmine.wordpress.com/ http://harrysk1.blogspot.com/2010/08/novel.html http://ashakimppa.blogspot.com http://hanyasebuahdongeng.blogspot.com/2012/06/salah-asuhan-abdul-moeis.html http://makalahindonesiaterbaru.blogspot.com http://pupuyaya.wordpress.com/category/novel-indonesia/5erba-5erbi-novel-indonesia/ http://ashhbur-royi.blogspot.com www.duniaebook.web.id duniadalam ebook.blogspot.com www.zona-ebook.blogspot.com http://pupuyaya.wordpress.com/category/agama-islam/quraish-shihab/ ttp://read.kitabklasik.net/search/label/~.pdf read.kitabklasik.net/.../syarah-al-hikam-al-athaiyah-muhammad http://www.dunia-pustaka.blogspot.com/2012/01/misteri-supersemar-eros-djarot.html http://asror-alwi.blogspot.com/2012/01/download-kitab-kitab-fiqh-dan-fatawa.html http://arifpemimpi.blogspot.com/2011/08/buku-humor-gusdur.html http://ebookgratis369.blogspot.com/ http://sipencariilmu.wordpress.com/2012/09/22/buku-karya-imam-al-ghazali-23-judul-kitab-karangan-imam-al-ghozali/ http://www.sarkub.com/download/ http://blogomasupartana.blogspot.com/2012/07/terjemah-nailul-authar-gratis.html http://1freedownloadebook.blogspot.com/ http://linklunkpress.blogspot.com/2012/07/terjemah-safinah-sulam-hikam-dll.html http://fikrifajar.wordpress.com/2011/08/07/terjemah-lubabul-hadits/ HTTP://SUNDUL-EBOOK.BLOGSPOT.COM/2013/02/PENGANTAR-ILMU-NAHWU-DAN-SHOROF.HTML semoga bermanfaat ingatlah mati agar hidup lebih berarti
Baca Selengkapnya >>

Selasa, 30 April 2013

biografi Jefri Al Buchori

Jefri Al Buchori atau lebih dikenal sebagai Ustad Uje (lahir di Jakarta, 12 April 1973 – meninggal di Jakarta, 26 April 2013 pada umur 40 tahun) adalah seorang pendakwah (ustad), penari, penyanyi, dan pemain film (aktor) dari Indonesia Pendidikan dan kehidupan pribadi Jefri, lahir di Jakarta adalah anak ketiga dari Ayah, Ismail Modal (alm) dan Ibu, Tatu Mulyana. [1] Berdasarkan wawancaranya dengan Gatra, masa kecilnya dihabiskan di daerah Pangeran Jayakarta dimana lingkungan sekitarnya terdapat banyak bar dan diskotek.[3] Jefri tidak pernah merasakan kelas 4 sekolah dasar karena pada saat bersekolah di SD 07 Karang Anyar, ia lompat kelas dari kelas 3 ke kelas 5.[3] Sejak kecil ia telah menunjukkan ketertarikan pada mata pelajaran agama dan kesenian.[3] Setamat SD, Jefri dan kedua kakaknya bersekolah di Pesantren modern di Daar el Qolam Gintung, Balaraja, Tangerang [1] namun ia hanya mengikuti pendidikan selama empat tahun dari enam tahun syarat lulus [3] dan pindah sekolah ke Madrasah Aliyah karena perilaku yang tidak terpuji. [2] Sejak kecil Jefri telah menunjukkan bakat untuk tampil dengan meraih prestasi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) hingga tingkat provinsi. [1] Masa mudanya kerap diidentikkan dengan narkoba, disko, dan bermain bola bilyar.[3] "Gue itu dulu dutanya setan di dunia" - pengakuannya pada saat wawancara.[3] Selepas Madrasah (setingkat SMA) ia melanjutkan pada akademi Broadcasting di Rawamangun, Jakarta - namun tidak selesai kuliah dikarenakan lebih mementingkan bermain bilyar.[3] Sebagai pecandu narkoba, Jefri bertemu dengan Pipik Dian Irawati yang dikenal sebagai model gadis sampul majalah Aneka tahun 1995 asal Semarang, Jawa Tengah dan menikah siri pada 7 September 1999. Pernikahan ini kemudian diresmikan di Semarang dua bulan kemudian.[3] Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, Adiba Khanza Az-Zahra, Mohammad Abidzar Al-Ghifari, dan Ayla Azuhro Uje meninggal dunia dalam usia 40 tahun pada tanggal 26 April 2013 dalam sebuah kecelakaan tunggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada pukul 2 waktu setempat. Ia menabrak pohon setelah kehilangan kendali atas Kawasaki ER-6n bernopol B 3590 SGQ yang sedang dikendarai.[4] [5] [6] [7] Ia sempat dirujuk ke Rumah Sakit Pondok Indah dan Rumah Sakit Fatmawati, namun nyawanya tidak tertolong.[8][9] Selanjutnya, jenazah Uje dibawa ke rumah duka di Perum Bukit Mas, Jalan Narmada III, Rempoa, Bintaro, Tangerang Selatan, Ustadz Jeffry dimakamkan di TPU Karet Bivak, Tengsin, Jakarta Pusat setelah sebelumnya disalatkan di Masjid Istiqlal.Karir Aktor dan penari Karir sebagai aktor bermula dari kegemaran Jefri menyambangi Institut Kesenian Jakarta dan mengikuti hingga menggantikan pemain sinetron yang sedang latihan, sampai akhirnya mengikuti pemilihan pemain dan mendapat peran.[1] Ia juga menjadi penari di sebuah kelab malam. [1] Pada tahun 1991 Jefri mendapatkan peran pada sinetron Pendekar Halilintar di TVRI, dan pada tahun 1991 terpilih sebagai pemeran pria terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja Sayap Patah yang ditayangkan TVRI. [3] [1] Penceramah, trend busana, dan penyanyi Sementara karir di bidang dakwahnya dimulai pada tahun 2000 saat menggantikan kakaknya yang menjadi imam di sebuah masjid di Singapura. [3] Pekerjaan kakaknya untuk memberikan khotbah di masjid-masjid dekat rumah di wilayah Pangeran Jayakarta, Jakarta diberikan pada Jefri. [3] Pertama kali menerima honor dari pekerjaan mendakwah berasal dari sebuah masjid di bilangan Mangga Dua sebesar 35 ribu rupiah[3] Pada satu kesempatan saat menjadi imam, jamaah masjid bubar menolak dipimpin oleh "tukang mabok". [3] Jefri sebagai pendakwah mulai dikenal orang secara luas pada tahun 2002 untuk ceramah dan doa dalam acara "Salam Sahur (Salsa)" di TV7, dan dikontrak untuk acara yang sama pada tahun berikutnya. [3] Pada tahun 2004 ia mengisi acara Tausiah di TPI dan tujuh episode acara "Kumis Remaja" setiap Minggu pagi.[3] Pada awalnya Jefri sempat berpakaian gamis panjang lengkap dengan sorban, namun menggantinya karena berpikir bahwa segmennya remaja dan tidak cocok untuk pakaian tersebut.[3] Jefri pun populer dengan baju koko nya dan menjadi merek dagang umum sebagai daya jual pedagang untuk mempopulerkan baju tersebut.[3] Pada tahun 2005 kegiatan ceramahnya mencapai tiga sampai empat kali dalam sehari dan pengajian rutin "I Like Monday" di rumahnya dengan jemaah tetap.[3] Di tahun yang sama ia diminta memberikan ceramah di Istana Negara dimana salah satu penggemarnya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[3] Juga di tahun 2005 Jefri meluncurkan album rohani "Lahir Kembali" yang komersial, kemudian pada tahun 2006 ia meluncurkan album keduanya "Shalawat" dimana ia berduet dengan istrinya Pipik Dian Irawati dalam dua lagu; "Shalawat Badar" dan "Thola`al Badru". [11] Pada tahun 2007 Jefri juga pernah berkolaborasi dalam lmini album Ungu (yang hanya berisi lima lagu) "Para Pencari-Mu" dalam lagu "Surga Hati".[12] [13] Pada tahun 2009 ia tampil langsung berduet pada Tabligh Akbar dan Konser Musik Religi Ungu di Cilegon, Jawa Barat yang dihadiri ribuan penonton.
Baca Selengkapnya >>

Minggu, 20 Januari 2013

Ellya Khadam

Latar belakang Nama lahir Siti Alya Husnah Lahir 25 November 1928 Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia Meninggal 2 November 2009 (umur 80) Bogor, Jawa Barat, Indonesia Jenis Musik dangdut, pop melayu Pekerjaan aktris, penyanyi, penulis lagu Tahun aktif 1950 - 2009 Perusahaan rekaman Sean Records, Remaco Ellya Khadam (nama lahir Siti Alya Husnah, dikenal juga dengan nama Ellya Agus, lalu Ellya M. Haris; lahir di Jakarta, 25 November 1928 – meninggal di Bogor, 2 November 2009 pada umur 80 tahun) adalah penyanyi, penulis lagu, dan pemeran Indonesia. Daftar isi [sembunyikan] 1 Karier 2 Pribadi 3 Filmografi 4 Referensi 5 Pranala luar [sunting]Karier Karier Ellya dimulai sebagai penyanyi dalam Orkes Melayu Kelana Ria pimpinan Adi Karso dan Munif Bahasuan. Orkes inilah yang melahirkan beberapa penulis lagu Melayu populer di tahun 1960-an yang kemudian berkembang menjadi tonggak awal genre musik dangdut kelak. Ia terkenal sebagai penulis lagu Boneka Dari India dan Pergi Tanpa Pesan yang sangat populer pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an. Ia juga menyanyikan lagu Beban Asmara (Cipt. Munif B.) dan Ogah Ah!. Setelah namanya sempat tenggelam oleh penerusnya di tahun 1970-an dan 1980-an, Ellya ternyata masih terus berkarier di dunia musik hingga beberapa bulan menjelang kematiannya. Pada tahun 1970-an Ellya juga sibuk mengisi berbagai film (film musik) hiburan Indonesia. [sunting]Pribadi Ellya menjalani masa kecil di Kampung Kawikawi, Manggarai, Jakarta Selatan. Pada usia muda ia dinikahkan. Pernikahan yang sempat membuahkan dua anak ini kandas. Di kampung ini ia mulai belajar menyanyi secara otodidak. Setelah perceraian ini, Ellya menikah dan bercerai sebanyak dua kali. Ellya Khadam meninggal dunia 2 November 2009 sekitar pukul 20.00, karena penyakit diabetes yang dideritanya.[1] [sunting]Filmografi Tjita-Tjita Ajah (1959) Ratu-Ratu Rumah Tangga (1960) Mak Tjomblang (1960) Matahari Pagi (1968) Dibalik Pintu Dosa (1970) Dunia Belum Kiamat (1971) Bing Slamet Setan Djalanan (1972) Benyamin Biang Kerok (1972) Biang Kerok Beruntung (1973) Anak Yatim (1973) Sopir Taksi (1973) Musuh Bebuyutan (1974) Buaye Gile (1974) Ratapan Si Miskin (1974) Bajingan Tengik (1974) Ratu Amplop (1974) Benyamin Raja Lenong (1975) Ridho Allah (1977) Ayah Tiriku Ibu Tirimu (1977) Dukun Kota (1978) Gudang Uang (1978)
Baca Selengkapnya >>