Imam ibnu malik sewaktu mengarang nadlom alfiyyah, setelah mendapatkan seribu bait, beliau ingin menulis kembali karyanya, namun ketika sampai pada bait;
“FAIQOTAN MINHA BI ALFI BAITIN”
(Alfiyyah ibnu malik mengungguli alfiyyah ibnu Mu’thi dengan menggunakan seribu bait) beliau tidak mampu meneruskan karangannya dalam beberapa hari, kemudian beliau bermimpi dalam tidurnya bertemu seseorang, dan orang itu bertanya; “katanya kamu mengarang seribu bait yang menerangkan ilmu nahwu” imam ibnu malik menjawab; “iya” orang itu lalu bertanya; “ sampai dimana karanganmu?” lalu dijawab; ”sampai pada bait…FAIQOTAN MINHA BIALFI BAITIN”
“Apa yang menyebabkan kamu tercegah menyempurnakan bait itu?” lalu dijawab; “saya tidak mampu meneruskan sejak beberapa hari” lalu ditanya;”apakah kamu ingin menyempurnakannya?” dijawab “iya” lalu orang itu berkata; “orang yang masih hidup mampu mengalahkan seribu orang yang mati”
Ibnu malik berkata;” apakah kau ini guruku?, imam ibnu mu’thi?” lalu dijawab “iya” kemudian imam ibnu malik merasa malu,dan paginya mengganti separuh bait tersebut dengan bait;
وَهْوَ بِسَبْقِ حَائِزٌ تفضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اْلجَمِيْلَا
(ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya,dan sepantasnyalah pujian baikku untuknya)
Setelah itu imam ibnu malik mampu menyelesaikan kembali karangannya hingga sempurna.
BAIT-BAIT MAGIC AL-FIYYAH
() وهْوَ بِسَبْق حَائِزٌ تَفْضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اٌلجَمِيْلَا
() وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتِ وَافِرَة # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الٌاَخِرَة
(6) ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya, dan sudah sepantasnyalah pujian baikku untuknya.
(7) Semoga Allah memastikan pahala yang berlimpah bagiku dan baginya, yaitu kedudukan yang tinggi di akhirat nanti.
Ma’na tafsiri:
Kelompok yang besar itu hendaklah mempunyai keutamaan / keistimewaan (تَفْضِيْلَا) dan pengabulan (مُسْتَوْجِبٌ) yaitu memberikan haq terhadap orang-orang yang memujinya dengan baik (ثَنَائِي اٌلجَمِيٌلَا)
(وَاللهُ يَقٌضِي) Allah memberikan aku dan mereka derajat
(بِهِبَاتِ وَافِرَة) yaitu berupa ni’mat yang sempurna di akhirat.
() كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ # وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفُ اْلكَلِمْ
(8) kalam menurut istilah para ahli nahwu (nahwiyyin) ialah lafadl yang bermakna lengkap seperti lafadl “اسْتَقِمْ” (luruslah kamu). Sedangkan isim,fi’il dan huruf ,itu kalim namanya.
Ma’na tafsiri:
Bait ini memberikan penjelasan tentang perintah kepada kita agar selalu untuk beristiqomah (اسْتَقِمْ).
() وَكُلُّ حَرْفِ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَا # وَاْلأَصْلُ فِي اْلمَبْنِيِّ أَن يُسَكَّنَا
(21) semua huruf berhak untuk di mabnikan, dan bentuk asal mabni adalah sukun
Ma’na tafsiri:
Setiap sesuatu (كُلُّ حَرْفِ) itu butuh kepada suatu pembinaan (اَلْبِنَا) dan sifat yang paling baik dalam membina adalah ketenangan (اَنْ يُسَكَّنَا).
() فَارْفَعْ بِضَمِّ وَانْصِبَنْ فَتْحَا وَجُرْ # كَسْرٌ كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
() وَجْزِمْ بِتَسْكِيْنِ وَغَيْرُ مَاذُكِرْ # يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُو نَمِرْ
(25) rofa’kanlah dengan harokat dlommah, dan nasobkanlah dengan harokat fathah, serta jerkanlah dengan harokat kasroh seperti dalam lafadz ذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ) )
(26) jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang telah disebutkan ada penggantinya seperti lafadl جَا أَخُو نَمِر
Ma’na tafsiri :
1. Ustadz Luqman berpendapat bahwa di dalam bait ini menjelaskan tentang hubungan hidup berumah tangga.
Didalam hubungan sebuah pernikahan/berumah tangga haruslah memperhatikan poin-poin di bawah ini:
1. (فَارْفَعْ) junjunglah sebuah kekompakan (بِضَمِّ) diantara suami istri
2. (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) dan tegakkan keterbukaan diantara suami istri
3. (وَجُرْ) tarik dan buanglah sebuah permasalahan yang menjadikan perpecahan (كَسْرٌ) didalam berumah tangga
4. (كَذِ كْرُاللهِ) dan hendaklah selalu berdoa kepada Allah SWT
5. (وَجْزِمْ) dan mantapkan, yaitu dengan berpendirian teguh (بِتَسْكِيْنِ) serta istiqomah
2. ma’na tafsiran yang lain
1. ( فَارْفَعْ) angkatlah agama islam dengan sebuah persatuan (بِضَمِّ)
2. (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) bersungguh-sungguhlah dalam menjaga hafalan
3. (وَجُرْ كَسْرٌ) dan perkara yang ditakuti adalah sebuah perpecahan
Rahasia pembagian I’rob:
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa i’rob terbagi menjadi empat macam, yaitu rafa’, nashab,khafad, dan jazm.
Tapi tahukah kamu bahwa Perubahan yang terjadi pada i’rob itu juga sama seperti perubahan yang terjadi pada seseorang. yaitu ada empat macam;
1. Rafa’, yaitu tingginya derajat, kemuliaan dan kedudukan disisi Allah Ta’ala.
Yang mendorong rafa’ adalah mengenal Allah; melaksanakan ketaatan kepadaNYA serta bergaul dengan orang-orang mulia yaitu para waliyulloh rodhiyallohu ‘anhum
2. Kebalikan dari rafa’ adalah khafadh, yaitu kerendahan dan kehinaan.
Yang mendorong khafadh adalah kebodohan; terus menerus mengikuti gejolak hawa nafsu.
3. Nashab, yaitu ketegaran diri dalam mengikuti arus perjalanan takdir . inilah maqam ridlo dan pasrah. Ini merupakan maqam para ‘arif yang mencapai wushul.
4. Jazm, yaitu kemantapan dan keteguhan hati untuk meniti perjalanan, memerangi hawa nafsu, dan menanggung penderitaan dalam perjuangan menuju wushul, hingga mencapai kesempurn-aan musyahadah
() لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ # كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ
(57) dlomir naa tetap akan terus dibaca naa meskipun berada dalam keadaan rofa’,nashob,dan jar, seperti lafadl كاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاح “ketahuilah, sesungguhnya kita telah memperoleh anugerah yang banyak”
Ma’na tafsiri:
1. Ustadz luqman berpendapat bahwa ma’na yang terkandung didalam bait ini adalah menunjukkan sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan continue seperti dlomir (نَا) jika kita sedang dalam keadaan yang tinggi/agung (رفع) atau tengah-tengah (النَّصْبِ) atau dibawah (جَرِّ) janganlah berubah dari aktifitas kita sehari-hari seperti aktifitas sebelum kita berada dibawah atau diatas.
2. Di dalam bait ini mengajarkan kita agar kita bisa menjadi seperti dlomir na (نَا) yaitu teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran baru
() وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُتَّصِلْ # إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ
(63) dalam keadaan ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh mendatangkan dlomir munfasil, selagi masih diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil
Ma’na tafsiri:Bait ini menjelaskan kita dianjurkan agar tidak minta bantuan kepada selain Allah selama kita tidak kepepet dan masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan benda atau orang lain.
() وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ # وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
(66) dahulukanlah yang khusus dalam muttashil, dan dahulukanlah yang anda sukai dalam keadaan munfashil
Ma’na tafsiri:Dahulukanlah orang yang lebih khusus/ istimewa bagimu, daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang tidak kamu kenali.
() وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ # مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ
(125) tidak di perbolehkan membuat mubtada’ dengan memakai isim yang nakiroh,selagi tidak memberi faedah, seperti pada lafad
عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَة
Ma’na tafsiri:Al mubtada’ diumpamakan sebagai seorang pimpinan yang ma’rifat (mengetahui), dan wajib bagi dia menjelaskan perkara yang menyenangkan,berilmu,dan punya kekuasaan, dan bisa dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh)
() وَأَخْبَرٌوا بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَ # عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا
(142) para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau lebih
Ma’na tafsiri; Seperti halnya yang sudah kita ketahui bahwa setiap mubtada’ hanya mempunyai satu khobar, tapi juga di perbolehkan mubtada’ itu mempunyai lebih dari satu khobar seperti contoh زَيْدٌ قَائِمٌ ضَاحِاكٌ
Nah…المبتداء pada bait ini di seumpamakan dengan seorang laki-laki /suami.sedangkan خبر di seumpamakan seoranng istri. Jadi di dalam bait ini juga menjelaskan, bahwa pada umumnya laki-laki hanya punya satu orang istri,tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari satu
() لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ # وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ
(302) aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut, sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong
Ma’na tafsiri: Bait ini juga bisa dibuat sebagai dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh,meskipun barisan musuh lebih banyak.
() وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِيِ خَلَفَا # عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَ
(413) lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam I’rob apabila mudhof di buang
Ma’na tafsiri: Jika mudlof terbuang maka tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan hubungan antara kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah kamu seperti seorang santri. Jangan sok-sokan berlagak layaknya kyai. Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu melakukan trtadisi atau perbuatan yang dilakukan oleh kyaimu dulu.
() فَأَلِّفُ التَّأْنِيْسِ مُطْلَقَا مَنَعْ # صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ
(650) alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, manakala memasukinya
Ma’na tafsiri:(أَلِّفُ) cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْسِ) itu tercegah dengan mutlaq (مُطْلَقَا مَنَعْ) karena cinta tersebut bisa
Mencegah dari kesuksesan angan-angan.
Baca Selengkapnya >>
Minggu, 20 Juli 2014
KISAH SINGKAT IMAM IBNU MALIK MENGARANG KITAB ALFIYYAH
Wasiat Abuya Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani رضي الله عنه
Diantara wasiat beliau رضي الله عنه:
aku mewasiatkan orang yang telah aku ijazahkan dan diriku supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah, membetulkan niat menuntut ilmu dengan ikhlas dan jujur kerana menuntut keredhaan Allah semata-mata
aku mewasiatkan juga supaya bersungguh-sungguh menuntut ilmu
aku mewasiatkan supaya menjadi al-Quran sebagai witid ,bertafakkur tentang kandungan ayat-ayatnya sesempurna yang mungkin dan mendalami mutiara-mutiara maknanya untuk mengeluarkan daripada perbendaharaan dan permatanya sesuatu yang melapangkan dada mu, menambahkan lagi keyaqinan dan agammu, menghadirkan kebesaran pemiliknya (Allah)
aku juga mewasiatkan supaya menjadikan bacaan kitab-kitab shufi sebagai wirid. Maka perkemaskan renangan kamu didalamnya.jadikan ia sebagai shahabat dan teman mesra pada waktu pagi dan petang dan pegangan kamu pada semua keadaan. Taklifkan diri kamu untuk beramal dengan isi kandungnya dan meninggalkan perkara-perkara yang ditegahnya.
aku juga mewasiatkan kepada kamu supaya berakhlaq baik terhadap semua manusia ….. jadilah kamu manusia yang paling lemah lembut dan bersopan santun, memaafkan orang yang menzalimi kamu, memberi kepada orang yang memutuskan hubungan dengan kamu dan membalas orang yang melakukan kejahatan terhadap kamu dengan kebaikan. Maafkan kesalahannya terhadap kamu sekalipin kesalahannya itu besar. Kasihilah orang-orang faqir dan lemah, duduklah bersama orang-orang miskin dan hadiri semua majlis mereka tanpa merasakan bahwa kamu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka, tetapi rasakanlah bahwa kamu merupakan orang yang paling hina dikalangan mereka.
aku juga mewasiatkan kamu dengan sifat wara’ kerana ia merupakan asas agama ini dan pegangan orang-orang yang matlamatnya untuk mennuntut redha Allah
aku juga mewasiatkan supaya bersangka baik terhadap Allah dan sekalian kamum Muslimin kerana sifat tersebut mengandungi segala keuntungan
aku juga mewasiatkan supaya bersungguh-sungguh menyebarkan ilmu dan mengajar manusia …
Beliau رضي الله عنه mengakhiri wasiatnya dengan wasiat yang dikhabarkan oleh ayahanda beliau, al-Habib as-Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas al-Maliki daripada al-Habib ‘Alawi ibn Thohir al-Haddad, sebagaimana wasiat beliau kepada ayahandanya:
Hendaklah orang yang diijazahkan menjadikan sebuah kitab tertentu sebagai rujukan dan peringatan terutama apabila sibuk berdakwah kepada Allah. Perkara pertama yang perlu dilazimi oleh orang yang ingin berdakwah selepas memahami hukum-hakam syariat ialah mengetahui segala janji baikNya bagi orang yang melakukan ketaatan dan janji burukNya bagi orang yang melakukan ma’siat yang terkandung di dalam al-Quran dan Hadits.
Maka kepadanya hati-hati sentiasa berasa rindu dan didalamnya terdapat cahaya iman. Untuk mengetahui semua perkara tersebut, memadailah dengan membaca kitab an-Nasho`ih ad- Diniyah wal Washoya al-Imaniyah (karangan al-Imam al-Habib Abdullah al-Hadddd). Sekalipun ia ringkas tetapi telah mengumpulkan perkara-perkara yang tidak dapat tهdak diperlukan oleh semua orang Islam.
Sekiranya hendak mengetahui thariqat yang khusus dan adab yang telah disyariatkan, hendaklah melazimkan membaca kitab ad-Dakwah at-Tammah wat Tazkirah al-‘Ammah (karangan al-Imam al-Habib Abdullah al-Hadddd). Jangan membaca tujuan untuk mengambil berkat sebagaimana mereka katakan, tetapi berazam membacanya untuk mendapatkan kefahaman dan memberi kefahaman kepada orang lain. Maka keberkatan yang sebenar ialah apabila disertakan dengan amal. ………..
……… berwaspadalah daripada menjadikan suatu kebiasaan hanya mengulang-ulang membaca permasalahan fiqih, siang dan malam, semasa tua dan muda tanpa membaca kitab agama yang lain seperti ilmu tafsir, hadits dan tasawuf. Dengan membataskan bacaan hanya kepada kitab-kitab fiqih adalah suatu kelemahan, kejumudan dan menjauhkan diri daripada akhlaq yang baik serta mewariskan kekerasan hati. Demikianlah telah diperkatakan oleh syaikh-syaikh kami dan lain-lainnya ………
…. Kemudian beliau berkata: Apabila zaman telah menjadi zaman bid’ah, fitnah, kesamaran, maka hendaklah penuntut-penuntut ilmu mempersiapkan dirinya untuk menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mempertahankan agama Allah dan menegakkan hujjahNya di tas muka bumi. Seseorang itu tidak akan mampu menjadi seperti itu, jika tidak mengambil setiap ilmu dengan secukupnya. Sesiapa yang memohon pertolongan Allah, maka Allah akan membantunya
Baca Selengkapnya >>
Rabu, 16 Juli 2014
Habib Umar bin Hafidz
Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz Ia dilahirkan pada hari senin, 27 Mei 1963 M [Kalender Hijriyah: 4 Muharram 1383][1]. Adalah seorang ulama dunia era modern. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana ia mengawasi perkembangan di Dar-al Musthafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen ia. Ia masih memegang peran aktif dalam dakwah agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga ia meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Ia terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad[2]. Ia dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim[2]. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam[2]. Ia secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal[2]. Demikian pula kedua kakek ia, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya[2].
Ia adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.
Masa Kecil
Ia telah mampu menghafal Al-Qur'an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fikih, hadits, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim. Ia pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum ia mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Dikirim ke kota Al Bayda
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan ia dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan ia. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji ia terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha ia yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi ia mulai berkumpul mengelilingi ia dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan ia dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, ia mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada ia perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri ia terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, ia melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, ia diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga ia dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula ia diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib 'Attas al-Habashi.
Setelah Perjalanan ke Hijaz nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha ia dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran ia, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku ia yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama ia tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran ia mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran pada masa depan.
Pulang ke Tarim[sunting | sunting sumber]
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah[2]. Pada tahun 1993 M atau sekitar 1414 H, Al Habib umar mengabadikan ajaran-ajarannya dengan membangun Dar-al Musthafa/Pondok Pesantren Darul Musthafa[4]. Pesantren ini didirikan dengan tiga tujuan :
Mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman secara bertatap muka(talaqqi) dan para pengajarnya adalah para ahli yang memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Menyucikan diri dan memperbaiki akhlaq[4]
Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada jalan yang dirihai Allah swt dan sesuai dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW serta para salafunassahlihin[4]
Dar-al Musthafa menjadi hadiah ia bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah ajaran para salafunasshalihin diserukan, hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia[4]. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis[2][4]. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar[2][4]. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan[2]. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen Al Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka[2].
Dakwah di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Awal kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994[5]. Ia diutus oleh Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah(semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia, disebabkan sebelumnya ada keluhan dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi seorang ulama dan tokoh asal Kota Solo/ Kota Surakarta, Jawa Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai ajaran para leluhurnya[5].
Dakwah ia juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia[1]. Masyarakat menyambut ia dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakek ia yang kedua, Al Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia. Dakwah ia yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dan kakek ia Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua muda[1].
Di Indonesia Al Habib Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Kementerian Agama Indonesia meminta pembuatan kerjasama dengan Al Habib Umar dan Dar-al Musthafa untuk pengiriman Sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya para kiai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan dibawah bimbingan langsung Al Habib Umar[1]. Sampai saat ini, banyak sudah santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang ia pimpin, Dar-al Musthafa di Hadhramaut, dan telah melahirkan banyak da’i-da’i yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia[1].
Penghargaan & Kiprah Internasional[sunting | sunting sumber]
The Second Muslim Catholic Forum 2011, at the Baptism Site, Jordan
A Common Word Conference with The Archbishop of Canterbury and Cambridge University October 15, 2008
Pada tanggal 22 Februari sampai dengan 2 Maret 2003 (26-29 Dzul Hijjah 1423 H) di Dar-al Musthafa, Tarim ia merintis upaya persatuan dalam aktifitas dakwah, dengan mengadakan multaqa ulama atau simponsium yang dalam pertemuan itu di hadiri oleh berbagai ulama dari belahan dunia, dan kemudian berlanjut pada pertemuan berikutnya diberbagai penjuru dunia dalam skala lokal maupun internasional[6]
Habib Umar termasuk sebagai salah seorang penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman pada tahun 2005, pada urutan tandatangan nomor 549[7], dan A Common Word (bahasa Inggris: A Common Word Between Us and You) pada tahun 2007 dalam urutan tandatangan nomor 42[8], yang keduanya ditandatangani oleh tokoh-tokoh Muslim dunia, termasuk di antaranya beberapa pemimpin Muslim Indonesia[6]
Di Indonesia, Habib Umar mendeklarasi berdirinya Majelis Almuwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum Silaturrahmi Antar Ulama pada tahun 1327 H / 2007 M.
Tahun 2009, New York Times menampilkan Al Habib Umar dan Darul Musthafa dalam salah satu pemberitaannya[6]
Al Habib Umar bin Hafizh termasuk salah satu dari 50 Urutan teratas dari The Muslim 500: The Wordl's 500 Most Influential Muslims(bahasa Inggris: The 500 Most Influental Muslims), yang diterbitkan oleh Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University(bahasa Inggris: Georgetown University), Amerika Serikat, yang dipimpin oleh sarjana studi Islam ternama John Esposito[6][9](bahasa Inggris: John Esposito).
.
Wasiat dan Nasihat[sunting | sunting sumber]
Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu, niscaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah[10]
Barang siapa semakin mengenal kepada Allah niscaya akan semakin takut kepada-Nya.[10]
Barang siapa yang tidak mau duduk dengan orang-orang yang beruntung, bagaimana mungkin ia akan menjadi orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang duduk dengan orang-orang yang beruntung, bagaimana mungkin ia tidak akan menjadi orang yang beruntung.[10]
Barang siapa menjadikan kematiaannya sebagai pertemuan dengan Sang Kekasih (Yaitu Allah swt dan Rasul-Nya), maka kematian itu merupakan hari raya baginya.[10]
Barang siapa percaya dan yakin pada risalah diutusnya Nabi Muhammad saw, maka ia akan mengabdi dan menannggung sabar karenanya. Dan barang siapa percaya yang membenarkan risalah kerasulan Muhammad saw, maka ia akan mengorbankan harta dan jiwa untuknya.[10][11]
Kedekatan seseorang dengan para nabi di hari kiamat menurut kadar perhatiannya terhadap dakwah saat orang tersebut berada di alam dunia.[11]
Betapa anehnya penduduk bumi ini, semua yang berada di bumi ini adalah pelajaran, namun mengapa mereka tidak mau belajar darinya. Kukira tidak ada sejengkal tanahpun di muka bumi, kecuali di situ ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang berakal apabila mau mempelajarinya.[11]
Sebaik-baik nafsu adalah yang dilawan dan seburuk-buruk nafsu adalah yang diikuti.[11]
Tanpa menahan hawa nafsu maka manusia sama sekali tidak akan sampai pada Tuhannya. Ketahuilah bahwa kedekatan manusia terhadap Allah swt menurut kadar kebersihan jiwanya.[11]
Jikalau sebuah hati telah terbuka, maka ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya.[12]
Barang siapa yang mempunyai samudra ilmu, kemudian kejatuhan setetes hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan merusak samudra tersebut.[12]
Sesaat dari saat-saat khidmat (pengabdian), lebih baik daripada melihat Arsy(singgasana Allah swt) dan seisinya seribu kali.[12]
Menyatunya seorang murid dengan gurunya, merupakan permulaan di dalam menyatunya dengan Rasulullah SAW. Sedangkan menyatunya dengan Rasulullah SAW, merupakan permulaan untuk lupa kepada yang selain Allah swt[12]
Manusia di setiap waktu senantiasa terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah, golongan yang diwajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas sujud. Sedangkan golongan kedua adalah, golongan yang di wajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas keingkaran.[12][13]
Barang siapa yang menuntut keluhuran, maka tidak akan peduli terhadap pengorbanan.[13]
Sesungguhnya di dalam sujud terdapat hakikat, yang mana apabila cahanya turun pada hati seorang hamba, maka hati tersebut akan sujud selama-lamanya dan tidak akan mengangkat kepala dari sujudnya.[13]
Yang wajib bagi kita yaitu harus menjadi da’i(menyampaikan apa yang kita ketahui) dan tidak harus menjadi qodli(hakim/orang yang memutuskan suatu perkara dalam agama) ataupun mufti (orang yang memberikan fatwa)[13]
Arti dakwah adalah memindahkan manusia dari kejelekan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ingat kepada Allah swt dan dari keberpalingan kembali menuju Allah swt, serta dari sifat yang buruk menuju sifat yang baik[13]
Syetan itu mencari sahabat-sahabatnya dan Allah pula yang menjaga kekasih-kekasih-Nya.[14]
Apabila semakin agung nilai ibadah dalam hati seseorang maka ringanlah semua kebiasaan baginya dan akan keluar keagungan kebiasaan dari dirinya.[14]
Apabila benar keluarnya seseorang di dalam berdakwah, maka ia akan naik ke derajat yang tinggi.[14]
Keluarkanlah rasa takut kepada makhluk dari dalam hatimu, niscaya engkau akan tenang dengan rasa takut kepada Sang Khaliq (Allah swt yang Maha Pencipta). Dan keluarkanlah rasa berharap pada makhluk dari dalam hatimu maka engkau akan merasakan kenikmatan dengan hanya berharap pada Sang Khaliq.[14]
Banyak bergurau dan bercanda merupakan pertanda sepinya hati dari mengagungkan Allah swt dan merupakan tanda-tanda dari lemahnya keimanan seseorang.[14]
Hakikat tauhid adalah membaca Al Qur’an dengan merenungi artinya(Tadabbur) dan bangun diwaktu malam(untuk mengisi kemuliaan diwaktu malam dengan berbagai ibadah yang mendatangkan keridhaan Allah swt).[15]
Tidak akan naik pada derajat yang tinggi kecuali dengan himmah (cita-cita yang kuat).[15]
Barang siapa memperhatikan waktu, maka ia akan selamat dari murka Allah.[15]
Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis dalam keheningan malam.[15]
Orang yang selalu mempunyai hubungan dengan Allah swt, maka Allah swt akan memenuhi hatinya dengan rahmat-Nya di setiap waktu.[15]
Janganlah urusan dunia kita mengalahkan urusan akhirat kita.[16]
Carilah dunia sebanyak mungkin, namun janganlah urusan duniamu mengalahkan urusan akhiratmu.[16]
Selalulah bersyukur kepada segala pemberian Allah, baik yang besar maupun yang kecil. Contoh yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Seperti menjilati tangan sehabis makan adalah salah satu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah swt.[16]
Tidak menyisakan nasi dalam piring bidangan kita juga merupakan bentuk rasa syukur kita, mengambil sebutir nasi yang terjatuh dari piring kita untuk dimakan adalah juga suatu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah swt.[16]
Kita harus bersyukur walau hanya dapat makan dengan nasi putih saja. Karena Allah swt telah berfirman: "Barangsiapa bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambahkan nikmat kepadanya"(QS.Ibrahim-14:7). Wahai para hadirin, kata"Aku" disini adalah Allah, jadi Allah sendiri yang akan menambahkan dan memberi tambahan nikmat-Nya atas orang yang mau bersyukur.""[16]
Sungguh agung dan suci anugrah-Nya. Dikatakan bahwa barangsiapa yang taat dan patuh kepada Allah, maka memerintahkan dunia untuk tunduk dan mendatanginya serta melayani hamba-Nya itu.[17]
Baca Selengkapnya >>
Langganan:
Postingan (Atom)