Senin, 11 April 2011

Merari Siregar

Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April 1941). Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.

Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelab dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok.

Ia pernah bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923 Merari Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif memperakiekkan politik etis Belanda.

Setelah lulus dan sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan kemudian pindah bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura, dan bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.

Roman Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920 ini merupakan roman ash yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Gambaran itu semakin nyata terlihat pada roman Siti Nurbaya yang merupakan karya puncak Angkatan Balai Pustaka. Di samping itu, Azab dan Sengsara ini adalah peniup terompet pertama yang menyuarakan peftentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama.

Tampaknya, buku Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak masa kedil. Awal penulisan Azab dan Sengsara bersamaan waktunya dengan penyaduran buku yang kemudian terkenal dengan nama Si Jamin dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Roman Azab dan Sengsara itu rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis Batak yang hernama Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan hal tersebut.



Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah­tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.

Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang.



Merari Siregar



Azab dan Sengsara muncul ketika Belanda sedang bergairah melaksanakan politik etisnya. Kegairahan itu antara lain ditandai dengan herdirinya Conunissie Voor Volkslectuur ‘Komisi untuk Bacaan Rakyaf tahun 1908 yang bertugas menyelenggarakan dan menyebar hacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Karangan ash itu, antara lain, cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun. Karya sastra yang muncul pada masa itu masih terpengaruh oleh

Dilihat walaupun sudah modern isi dan bentuknya. Pemodernan ini dimungkinkan karena pengarang bergaul dengan karya sastra barat, khususnya sastra Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Pemoderenan semakin meningkat ketika Commissie Voor de VoLfcslectuur diganti namanya dengan Balai Pustaka.

Penggantian itu disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru. Pemodernan in autara lain, mampu mendorong kesadaran individu para pengarang. Kesadaran individu ini tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-­tokoh cerita ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian tokoh ini tercermin dalam Azab dan Sengsara, seperti yang tampak pada tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan Mariamin ini diharapkan Merari Siregar agar menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Di atas telah dikatakan bahwa ikatan adat tokoh Mariamin mulai menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suarninya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.

Secara keseluruhan Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain ciri-ciri yang dikemukakan di atas, yakni menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.

Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.

Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul “Jan Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. demikian dinyatakan oleh Teeuw walaupun sebelumnya ía menyatakan bahwa cerita “Jan Smees” ini berasal dan cerita Oliver West gubahan Char les Dickens. Pengamat lain, seperti Armijn Pane pun menyatakan bahwa karya Si Jamin dan Si Johan berasal dari karya sastra Belanda tersebut.

Buku Si Jamin dan Si Johan cetakan pertama 1918, menurut Amal Hamzah, dimuat bersama-sama dengan judul lain yang bernama Penghibur Hati karya S. Paimin. Nama samaran Merari Siregar. Karangan kecil yang berjudul Penghibur Hati ini menurut Teeuw, dikarang oleh J-Paimin dan Slakas, Tasikmalaya. Pada halaman judul teks itu tertulis ‘Soewatoe karangan yang beroleh hadijah dan diploma dalam perloembaan karangan dan hal madat”. Teks itu merupakan risalah kecil tentang akihat buruk penghisapan madat.

Cerita Si Jamin dan Si Johan serta Penghibur Hati itu mendapat hadiah dalam sayembara mengarang tentang pemberantasan madat. Oleh karena judul cerita itu mempunyai tujuan yang sama, kedua cerita itu disatukan menjadi sebuah buku. Dalam saduran itu Merari Sáregar menciptakan lingkungan cerita yang baik sehingga tanpa membaca cerita aslinya kita seolah-olah membaca cerita baru yang terjadi di Indonesia (Jakarta). Daerah-daerah seperti Prinsenlaan di Taman Sari dan Glodok serta suasana Betawi tahun 20-an dilukiskan sehingga menimbulkan kerawanan di hati pembacanya.

Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan. pemerintah Belanda masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.

Dalam menyadur Merari Siregar mengalami kesukaran untuk memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan dan kesultanan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan dan kesolehan indonesia. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang yang beruang. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke mesjid tanpa istri dan anak perempuannya.

Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan yang terkenal, karya-karya lain yang kurang dikenal, yaitu (1) Binasa Karena Gadic Priangan, Balai Pustaka, 1931; (2) Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kora Betawi, Balai Pustaka, 1924; dan (3) “Cinta dan Hawa Nafsu” yang merupakan sebuah roman.

Profesi Merari Siregar sebagai guru mewarnal gaya penceritaan dan gaya karya sastranya, baik karya asli maupun sadurannya. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi dengan gaya khotbahnya langsung menunjukkan perkataan atau maksudnya kepada pembaca; meminta perhatian untuk ceritanya. Ia memberi nasihat, mengecam yang kurang baik serta memuji-muji tindakan yang menurut aturan masyarakat baik.



.Karya Merari Siregar

a. Novel

(1) Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.

(2) Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.

(3) Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balam

Pustaka 1924.

(4)Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.



b. Saduran

c. Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar