Senin, 11 April 2011

Umar Kayam






Umar Kayam adalah nama yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Semasa hidupnya ia sangat aktif di berbagai bidang. Ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, sosiolog, kolumnis, mantan pejabat, penulis skenario, dan aktor film. Ialah pemeran Bung Karno dalam film layar lebar produksi Pusat Film Nasional (PFN) yang berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI. Sebuah film dokumenter yang dijadikan oleh pemerintah sebagai tontonan wajib bagi rakyat Indonesia pada zaman Orde Baru.
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tangggal 30 April 1932. Sebenarnya, orang tuanya tinggal di Solo. Akan tetapi, menjelang kelahiran Umar Kayam, orang tuanya memang sengaja datang ke Ngawi, rumah kakek Umar Kayam, karena Sang kakek ingin cucu pertamanya lahir di rumahnya. Maka, lahirlah Umar kayam di Ngawi.

Nama Umar Kayam yang disandangnya adalah pilihan ayahnya, Sastrosoekoso. Nama itu meniru nama Omar Khayam , seorang sufi, filsuf, ahli perbintangan, ahli matematika, dan pujangga kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12. Ayahnya berharap bahwa Umar Kayam bisa menjadi manusia yang cemerlang seperti Omar Khayam.

Umar Kayam memulai pendidikan formalnya di kota Solo. Ia mnyelesaikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah peratama (SMP)-nya di kota itu. Dari Solo ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta dan menamatkannya di SMA Semarang. Ia kembali lagi ke Yogyakarta setelah lulus SMA.

Di Yogyakarta ia masuk ke Fakultas Paedagogi, Universitas Gajah Mada (UGM). Ia meraih gelar B.A (sarjana muda) pada tahun 1955 dari sana. Tentu saja debutnya tidak

hanya sampai di situ. Bagi Umar Kayam pendidikan itu penting dan ia selalu ingin menambah pengetahuannya. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang diminatinya memang sangat besar. Maka, dilanjutkannyalah pendidikannya ke Universitas New York, di Amerika Serikat. Ia berhasil meraih gelar M.A. (1963) dari negeri Paman Sam itu. Dua tahun kemudian, 1965, ia kembali menunjukkan kemauan dan kemampuannya dalam menggali ilmu, ia meraih gelar Ph.D dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Gelar professor diperolehnya dari UGM, tempat ia mengabdikan ilmunya, pada tahun 1986 dan dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM pada tahun 1988.

Sangat banyak pekerjaan yang pernah digeluti oleh Umar Kayam dan dalam berbagai jenis pula. Pengetahuannya yang tinggi dan wawasannya yang luas memungkinkan ia menggeluti semua pekerjaan itu.

Jabatan kariernya dimulai dari dosen pada Fakultas Sastra, UGM. Seiring dengan peningkatan sumber daya manusianya yang cukup menonjol, meningkat pula kariernya di UGM, bahkan merambat ke tempat lain. Ia pernah menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, Departemen Penerangan, Republik Indonesia (Dirjen RTF) pada tahun 1966--1969 , Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada tahun 1968—1972, Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1969—1972, Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975—1976), Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan, UGM pada tahun 1977, Ketua Dewan Film Nasional pada tahun 1978—1979, Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada tahun 1988, dan anggota Akademi Jakarta pada tahun 1988. Ia juga pernah menjadi anggota MPRS, dosen UI dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, Senior Fellow pada East-West Center, Hawai, AS, anggota penyantun/penasehat majalah Horison.

Uka, sapaan akrab Umar Kayam, mengakhiri masa lajangnya pada usia 27 tahun. Ia menikahi gadis Minang yang bernama Roosliana Hanoum pada tanggal 1 Mei 1959 di Medan. Resepsinya diadakan di Singaraja, Bali, tempat Umar Kayam bertugas saat itu. Kehidupan rumah tangganya berjalan langgeng. Ia menerapkan sikap demokrasi di keluarganya, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak dan istrinya.

Sita, putri sulungnya, misalnya, menyukai tari Jawa, tetapi kurang bisa berbahasa Jawa. Umar kayam, yang sangat peduli terhadap budaya Jawa, tidak mau ikut campur untuk memaksa putrinya harus menguasai bahasa Jawa, meskipun menurut pikirannya seharusnya memang demikian. Ia membiarkan anak-anaknya berkembang menurut kehendak anak itu sendiri. Begitu pula dengan istrinya, yang akrab disapa dengan nama kecilnya, Yus, tidak dipaksanya menjadi istri dan ibu yang harus bekerja di rumah mengurusi rumah tangganya saja. Ia merelakan istrinya berkarier, bahkan mendukungnya, jika hal itu yang dibutuhkan oleh istrinya.

Pandangan Umar Kayam yang cenderung modern dalam membina rumah tangganya itu, ternyata kontradiktif dengan pandangannya dalam menyikapi kemajuan zaman, khususnya teknologi komputer. Meski zaman telah dilanda komputerisasi, Profesor doktor yang pernah menjabat sebagai guru besar di Universiatas Gajah Mada itu enggan meninggalkan mesin ketik manualnya yang kalau dipakai mengeluarkan suara yang dapat menagganggu orang di sekitarnya. Jika teman-temannya membujuknya untuk menggunakan komputer, Umar Kayam menantang mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan komputer saya bisas kreatif.” Tentu saja tak seorang pun yang dapat memberikan jaminan.

Karya-Karya Umar Kayam

I. Cerpen

1. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
2. Istriku, Madame Schultz, dan Sang Raksasa
3. Sybil
4. Secangkir Kopi dan Sepotong Donat
5. Chief Sitting Bull
6. There Goes Tatum
7. Musim Gugur Kembali di Connecticut
8. Kimono Biru buat Istri

II. Novel Pendek

1. Sri Sumarah
2. Bawuk

(Kedelapan cerpen di atas bersama dua novelet—Sri Sumarah dan Bawuk—diterbitkan dalam satu buku yang berjudul Sri Sumarah, pada tahun 1975. Penerbitnya adalah Pustaka Jaya, Jakarta.

III. Novel

1. Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
2. Jalan Menikung (Pustaka Jaya 2002)

pusatbahasa.diknas.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar